Home Nasional RUU TNI: Portal Pembuka Jalan Menuju Orde Paling Baru

RUU TNI: Portal Pembuka Jalan Menuju Orde Paling Baru

832
0
SHARE


Oleh: Wisnu Dewa Wardhana

Jamaninfo.com, Opini – Negeri ini pernah bersumpah tidak akan kembali ke kelamnya militerisme, namun lihatlah, penguasa kini bermain api dengan sejarah.

RUU TNI bukan sekadar revisi undang-undang, ini adalah portal yang membuka kembali era di mana suara rakyat harus diredam dalam dentuman langkah para serdadu yang tidak tahu kapan harus berhenti.

Pemerintah berdalih ini demi efektivitas, demi stabilitas, demi kepentingan bangsa. Tapi sejak kapan memperdagangkan demokrasi kepada militer dianggap sebagai langkah maju? Sejak kapan kebebasan sipil harus dikorbankan demi keserakahan kuasa?

Militer di Jabatan Sipil: Kudeta Konstitusi Berkedok Regulasi

Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945 dengan jelas membagi tugas antara TNI dan Polri. TNI bertugas mempertahankan negara, bukan mengurusi birokrasi dan administrasi. Tapi kini, pemerintah ingin melanggengkan kekacauan dengan menempatkan serdadu di kursi-kursi sipil yang seharusnya diisi oleh mereka yang memahami tata kelola pemerintahan, bukan strategi perang.

Pasal 47 Ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI sudah menegaskan bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil kecuali pensiun. Namun, pemerintah seolah buta huruf, memilih menulis ulang hukum seenaknya, seolah konstitusi adalah catatan harian yang bisa diubah sesuai kepentingan penguasa.

Jika TNI bisa dengan mudah masuk ke jabatan sipil, maka untuk apa kita memiliki ASN? Untuk apa kita berdemokrasi, jika ujungnya kita tetap harus tunduk pada militer?

Kembalinya Dwifungsi: Demokrasi yang Ditinggalkan di Pinggir Jalan

Kita pernah hidup dalam bayang-bayang Dwifungsi ABRI. Saat itu, suara rakyat bukan lagi penentu kebijakan, tetapi hanya gema kosong yang tenggelam di balik perintah komandan. Kini, dengan alasan koordinasi lebih mudah, pemerintah membuka kembali jalan bagi militer untuk menginjak ranah sipil.

Pasal 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa militer harus profesional dan tidak berpolitik praktis. Tapi bagaimana bisa tetap profesional jika prajuritnya diberi kekuasaan sipil? Bagaimana bisa netral jika mereka diizinkan mengatur jalannya pemerintahan?

Jika ada yang masih ragu bahwa ini adalah kemunduran, maka lihatlah sejarah. Dahulu, ketika TNI bebas masuk ke ranah sipil, apa yang kita dapat? Tragedi Tanjung Priok, DOM Aceh, penculikan aktivis. Apakah itu yang ingin kita ulang?

Perpanjangan Usia Pensiun: Menghamburkan Uang untuk Pangkat, Bukan Rakyat

Seolah memberi kekuasaan sipil kepada militer belum cukup, pemerintah ingin memperpanjang usia pensiun prajurit. Seakan-akan jabatan di TNI adalah warisan yang harus dipertahankan hingga rambut mereka memutih dan tubuh tak lagi sanggup berperang.

Pasal 53 Ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 sudah jelas: usia pensiun perwira adalah 58 tahun, bintara dan tamtama 55 tahun. Tapi sekarang, pemerintah ingin menambahkannya, dengan alasan yang bahkan mereka sendiri tidak bisa jelaskan dengan masuk akal.

Rp120 miliar per tahun akan terbuang hanya untuk menutupi gaji pokok mereka yang diperpanjang masa dinasnya. Dan itu baru gaji pokok! Belum termasuk tunjangan, fasilitas, dan berbagai anggaran lainnya.

Sementara itu, di desa-desa terpencil, anak-anak masih belajar dengan atap bocor, rumah sakit penuh dengan pasien yang terpaksa berobat tanpa obat, dan rakyat masih tercekik harga pangan. Tapi, alih-alih memikirkan rakyat, pemerintah lebih memilih untuk membiayai prajurit yang seharusnya sudah pensiun agar tetap bercokol di lingkaran kekuasaan.

Pengkhianatan Terhadap Prinsip Supremasi Sipil dan Negara Hukum

Konstitusi sudah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara yang tunduk pada militer.

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tapi dengan revisi ini, pemerintah sedang menulis ulang demokrasi dengan tinta kediktatoran.

UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN menjelaskan bahwa jabatan sipil harus diisi oleh profesional, bukan oleh mereka yang masih terikat sumpah setia kepada institusi militer. Tapi dengan revisi ini, sipil dipinggirkan, militer diberi jalan tol menuju kekuasaan.

Jika ini dibiarkan, maka bukan tidak mungkin kita akan melihat kembalinya Bupati-Bupati dari kalangan militer, Gubernur-Gubernur berpangkat jenderal, dan pengadilan yang tak lagi bebas karena dijaga oleh mereka yang seragamnya lebih berwibawa daripada hukum.

Pada akhirnya, RUU TNI Adalah Kuburan Demokrasi!

Pemerintah selalu berdalih bahwa ini semua demi stabilitas. Tapi sejak kapan demokrasi harus dikorbankan demi stabilitas yang didikte oleh sepatu lars?

Jika revisi ini disahkan, maka:

• Militer kembali berkuasa dalam ranah sipil, merampas hak rakyat untuk memerintah negaranya sendiri.
• Sejarah kelam Orde Baru bukan hanya diingat, tetapi kembali dihidupkan.
• Uang negara dihamburkan untuk prajurit tua, sementara rakyat tetap berjuang sendiri menghadapi kerasnya hidup.
• Negara hukum berubah menjadi negara komando, di mana perintah atasan lebih kuat daripada konstitusi.

RUU TNI ini bukan hanya kemunduran, tetapi sebuah pengkhianatan terhadap reformasi, terhadap demokrasi, terhadap rakyat! Jika ini disahkan, maka pemerintah telah resmi menandatangani akta kematian supremasi sipil di Indonesia.

Kepada mereka yang masih peduli, ini adalah panggilan untuk melawan, bukan dengan senjata, tetapi dengan suara. Jangan biarkan negeri ini kembali dikangkangi oleh seragam hijau dan bintang di pundak!. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here