JAKARTA – Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana memberikan penjelasan terkait beredarnya informasi tentang 142 kegiatan EBT yang disebut-sebut mangkrak.
Sejak tahun 2011 hingga 2017, Ditjen EBTKE membangun 686 unit pembangkit listrik EBT dengan nilai Rp. 3,01 triliun, tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Umumnya adalah daerah-daerah terpencil terisolasi, dan belum terjangkau aliran listrik PLN. Sumber pembiayaan kegiatan-kegiatan tersebut adalah dari APBN bukan investasi swasta.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 126 unit kegiatan senilai Rp. 1,044 Triliun belum diserahterimakan ke Pemerintah Daerah, dan hanya 68 kegiatan senilai Rp 305 miliar di antaranya yang mengalami kerusakan ringan dan berat.
“Sebanyak 55 unit senilai Rp. 261 miliar mengalami kerusakan ringan, yaitu kapasitas produksi pembangkit listrik menurun dari kemampuan daya optimum tetapi masih beroperasi. Hanya 13 unit dengan nilai kegiatan Rp. 48,85 miliar yang mengalami rusak berat atau tidak beroperasi,” jelas Dirjen Rida kepada awak media di kantor Ditjen EBTKE, Senin (18/12).
Kerusakan berat itu diantaranya karena bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan petir serta faktor operasional yang melebihi kemampuan unit.
Menurut Rida, penggunaan istilah mangkrak oleh media tidak tepat. “Mangkrak itu konotasinya kegiatan-kegiatan tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan pembangunannya. Faktanya seluruh kegiatan tersebut telah diselesaikan pembangunnya, namun mengalami kerusakan dalam pengoperasiannya karena berbagai sebab,” ujar Rida.
Pemerintah telah menginvetarisasi kegiatan-kegiatan pembangkit EBT yang mengalami kerusakan, untuk segera dilakukan perbaikan. “Kita tidak sekadar mendata, kita telah membuat program perbaikannya agar segera bisa dinikmati oleh saudara-saudara kita sesuai rencana dan semangat pembangunan,” ungkapnya.
Pada Tahun Anggaran 2017, Kementerian ESDM telah menganggarkan biaya perbaikan sebesar Rp. 8,9 miliar. Namun kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak ada rekanan yang berminat untuk melaksanakan perbaikan pembangkit listrik EBT, sehingga dinyatakan gagal lelang.
“Untuk tahun 2018, kita anggarkan biaya perbaikan sebesar Rp. 17,68 miliar yang pelaksanaannya sedang dikaji melalui kerjasama swakelola sehingga tidak terjadi lagi gagal lelang. Anggaran perbaikan yang lebih besar, dimaksudkan agar perbaikan 68 unit kegiatan EBT yang rusak dapat tuntas diselesaikan sehingga dapat segera di optimalkan pemanfaatannya oleh masyarakat,” tambah Dirjen Rida.
Rida menyatakan, 142 kegiatan EBT senilai Rp. 1,17 triliun dalam temuan awal BPK, merupakan audit kinerja yang tidak dibatasi tahun. Ada proyek tahun 2007 yang masuk dalam cakupan audit kinerja tersebut.
Objek audit BPK adalah proyek yang didanai oleh APBN. Jadi tidak ada kaitannya dengan investasi swasta yang dilakukan oleh Independent Power Producer (IPP). Tidak tepat jika dikatakan 142 kegiatan EBT yang dikabarkan mangkrak tersebut karena peraturan menteri tentang tarif listrik pembangkit EBT dari IPP.
Lebih jauh Rida menampik anggapan bahwa Peraturan Menteri ESDM menjadikan investasi pembangkit listrik EBT oleh IPP tidak menarik.
Ia merujuk data, tiga tahun terakhir penandatanganan kontrak pembangunan pembangkit EBT antara PLN dan IPP hanya sekitar 15 PPA per tahun. Tahun 2017, dengan peraturan baru tentang tarif, telah ditandatangani 68 PPA (Power Purchase Agreement) pembangkit EBT. Tiga LoI (Letter of Intention) EBT baru saja ditandatangani minggu lalu di Paris.
“Itu adalah bukti awal bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 menarik bagi para pengembang EBT,” jelas Rida Mulyana. (esdm)