Home Nasional Lemahnya Regulasi Penanganan Terorisme, Aparat Kecolongan

Lemahnya Regulasi Penanganan Terorisme, Aparat Kecolongan

430
0
SHARE

Jaman, Nasional (15/11) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengakui kecolongan dengan kejadian peledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda terjadi pertama kali di Kaltim. Jauh sebelum kejadian tersebut, rupanya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah menetapkan Kaltim satu dari 12 daerah rawan terorisme.dua hari lalu tersebut. Seperti diberitakan oleh Berau Post, Regulasi penanganan terorisme di Indonesia yang masih lemah disebut turut menjadi penyebab. Akibatnya, jadi keterbatasan aparat dalam melakukan pencegahan. Dalam UU itu, aparat ibarat seperti pemadam kebakaran. Baru bisa bertindak setelah ada kejadian. UU tersebut mendesak untuk dilakukan amandemen.

“Kami hanya bisa memantau. Kami enggak tahu kapan dia akan melakukan teror. Tidak bisa menangkap sebelum yang bersangkutan melakukan peledakan,” terang mantan kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kaltim itu.

Belum lagi, peledak yang digunakan Juhanda merupakan bahan yang gampang dibeli. Bukan yang mencurigakan. Dari pengalaman yang bersangkutan sebagai pelaku Bom Buku, jauh berbeda.

Dalam persoalan ini, Juhanda bergerak sendiri. Dari pertama tinggal di Samarinda, menumpang dengan Ustaz Supriyadi, ayah dari temannya, Agung. “Kepolisian terus menyelidiki,” tutur dia.

BEKAS TERORIS

Tidak semua narapidana yang terjerat kasus terorisme kembali berulah, seperti Supriyadi. Di Kaltim, ada delapan eks teroris Bom Bali I (2003) yang memulai kehidupan baru. Dengan perincian, empat orang di Samarinda, dua di Balikpapan, satu di Kutai Kartanegara, dan satu di Penajam Paser Utara.

 “Keluhan mereka (eks teroris) setelah bebas penjara adalah hidup susah. Barang-barang sudah dijual. Masih sempat dicurigai masyarakat,” kata Hasyim.

Berkaca itu, FKPT mengajukan permohonan kepada BNPT. Hasilnya, tahun lalu pusat mulai menyalurkan modal usaha tiap orang sebesar Rp 10 juta. Artinya, total senilai Rp 80 juta. Tujuannya, dana tersebut digunakan eks teroris melanjutkan hidup dan kembali ke masyarakat dengan baik. “Mereka dibuatkan koperasi. Terus kami bina. Tahun ini akan disalurkan lagi dana itu,” imbuhnya.

Satu di antaranya, Muhammad Yunus. Dikatakan, syarat pendirian koperasi beranggotakan 20 orang. Dengan jumlah mantan narapidana Bom Bali I hanya delapan orang, kekurangannya ditutupi dari anggota keluarga dan FKPT. Koperasi yang didirikan itu bernama Merah Putih 71.

“AD/ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) koperasi bergerak di bidang apa saja. Perikanan, jual gas elpiji, sampai perkebunan. Kami dua bulan sekali berkumpul,” kata Yunus yang pernah mendekam di jeruji besi selama tujuh tahun karena kasus terorisme. Disinggung Juhanda, dia mengaku tak tahu. Lagi pula, pelempar bom Molotov itu bukan kelompok mereka.

JANGAN TERPANCING

Sehari setelah kejadian pengeboman di Gereja Oikumene, Sengkotek, Pemkot Samarinda berkoordinasi dengan sejumlah muspida di Kota Tepian. Mereka mengeluarkan pernyataan sikap untuk menjaga kedamaian di Benua Etam.

Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang mengatakan, rapat koordinasi ini dilakukan untuk memberi rasa aman kepada masyarakat yang hasilnya dituangkan dalam pernyataan sikap secara tertulis. “Kami harap warga Samarinda tidak terpancing atas peristiwa ini,” ucap dia, kemarin pagi.

Mereka yang menandatangani pernyataan sikap itu adalah Ketua FKUB Samarinda KH Zaini Naim, Ketua FKDM Samarinda Agus Sutopo, Ketua FPK Samarinda Rudyanto Sulisthio, Kepala Kemenag Samarinda Masdar Amin, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Setyo Budi, Dandim 0901 Samarinda yang diwakili kepala staf Mayor Gathut, dan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang.

Sebelum menggelar rapat di Balai Kota, Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan Wakil Wali Kota Nusyirwan Ismail mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy mengunjungi korban di RSUD AW Sjahranie.

Muhadjir mengatakan, semua biaya pengobatan ditanggung pemerintah. Ia menyatakan rasa dukanya atas kejadian ini. Pejabat yang memakai peci hitam itu bakal menyampaikan hasil kunjungan tersebut ke Presiden Joko Widodo.

“Semoga keluarga diberi kesabaran dan bisa menerima dengan ikhlas. Pelaku harus dihukum berat. Saya mengutuk keras. Apalagi mengenai anak-anak tak berdosa. Saya juga punya anak balita jadi saya tak sampai hati melihat ini,” sebut dia.

Menurut dia, hal ini menjadi pelajaran agar lebih serius lagi menangani terorisme di Indonesia. Kata dia, ini ancaman bagi NKRI. “Anak kecil seperti itu tidak paham politik, hanya ingin kedamaian, keramahan, bermain bebas, dan mendapat kasih sayang dari lingkungannya, malah jadi korban. Ini sangat keji,” kata dia.

Ketua DPD Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman) Kaltim Maswan Sainudin mengatakan, kedamaian di provinsi ini ternodai dengan aksi pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda. “Kami dari Jaman Kaltim mengutuk keras para pelaku beserta jaringan yang terlibat, langsung maupun tidak langsung,” katanya, tadi malam.

Pihaknya pun meminta Polri menindak para pelaku beserta jaringannya sampai ke akarnya secara adil, cepat, dan tuntas. Kepada Pemprov Kaltim dan Pemkot Samarinda, dia berharap menanggung biaya perawatan korban, baik secara fisik maupun psikis setelah insiden.

TIDAK PAHAM AGAMA

Kejadian pengeboman di Gereja Oikumene, Sengkotek dua hari lalu menyakiti perasaan berbagai pihak. Terlebih pelaku memakai kaus bertuliskan jihad yang identik dengan Islam. Padahal, kasus ini adalah kriminal murni, tidak ada hubungannya dengan agama manapun.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Samarinda KH Zaini Naim mengatakan, atas kejadian ini Islam tidak tercoreng. Sebab, ini perbuatan oknum bukan persoalan agama. Kata dia, tak ada agama manapun yang memerintahkan merusak umat ibadah dan mengganggu orang yang beribadah.

Orang Islam yang berjihad, kata dia, tidak harus pakai kaus jihad. Menurut dia, jihad itu urusan hati. Jadi memakai kaus tulisan jihad itu ada tujuan tertentu untuk memprovokasi. Tapi yang terjadi itu memang teror, bukan jihad.

Apakah para pelaku itu Islam radikal? Ia menegaskan tidak setuju sebutan radikal atau konservatif. Kata dia, tak ada istilah Islam radikal. Sebab, berlaku tegas terhadap halal dan haram untuk sesama muslim bukanlah radikalisme.

“Ilmu mereka tidak bagus, hanya tahu makna jihad sebagai perang. Padahal jihad artinya bersungguh-sungguh. Orang yang sedang menuntut ilmu itu jihad juga namanya. Tapi, kalau melarang yang haram untuk sesama muslim bukan berarti radikal,” urai dia.

Zaini menduga kejadian ini hanya memancing agar antarpemeluk agama di Samarinda berkelahi. Ia menegaskan, tokoh agama jangan terpancing adu domba ini. “Selama ini kerukunan beragama sudah bagus. Itu memang teror. Bukan atas nama agama,” tegasnya.

Ia menyatakan, MUI sejak lama memantau majelis-majelis di Kota Tepian. Tapi, tupoksi MUI hanya memberi nasihat dan fatwa. Tidak ada urusan menangkap, sweeping, atau membredel.

“Saya juga mubaligh. Saya memonitor. Orang tanya ke saya soal ucapan seorang ustaz, saya counter jawabannya. Sebab, bicara agama harus punya pengetahuan. Tidak bisa sembarang bicara. Rujukannya harus Alquran, hadits, dan kitab-kitab yang bonafide,” papar dia.

Zaini menegaskan, bom bunuh diri hukumnya haram. Kata dia, dalam Alquran ditegaskan, jangan campakkan dirimu dalam kebinasaan. Bom bunuh diri itu, sebut dia, mencampakkan diri. “Teroris itu bukan Islam radikal, tapi oknum yang tidak paham agama,” tegas dia.

Dikatakan, dalam setiap kejadian selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Zaini menyebut, ke depan mesti lebih hati-hati. Berbeda agama harus bertoleransi dan saling mengakrabkan diri. “Mungkin selama ini kita lalai, hanya mementingkan agama sendiri. Kita disuruh belajar banyak oleh Tuhan. Saatnya merekatkan diri,” ulas dia.

Apakah kepolisian bakal melakukansweeping ke sejumlah pengajian yang mencurigakan? Kapolresta Samarinda Kombes Pol Setyo Budi menerangkan, bakal mengedepankan tiga pilar. Yakni,  lurah, babinsa, dan babinkamtimbas. Mereka mesti mengimbau kepada ketua RT dan RW untuk wajib lapor 1×24 jam bila ada warga baru.

Bila ada indikasi tak sesuai norma, maka wajib segera lapor ke polisi. Selama ini kepolisian sudah melakukan pembinaan dan penyuluhan untuk mencegah terorisme. “Masjid Mujahidin itu sudah kami curigai. Tapi waktu itu belum ada bukti, jadi belum bisa ditindak,” beber dia.

Terpisah, anggota DPR RI Hetifah Sjaifudian mengaku prihatin atas peristiwa teror dengan pengeboman gereja di Samarinda. Apalagi dari kejadian itu telah memakan korban jiwa. Maka, mendesak pelaku aksi harus dihukum seberat-beratnya. “Kami mengimbau seluruh umat beragama tetap menjaga persaudaraan antarumat. Tidak terpancing ulah teroris yang ingin memecah belah persatuan,” pesan wakil rakyat asal Kaltim-Kaltara itu.

Politikus Golkar itu meminta kepolisian untuk mengusut tuntas pelaku dan jaringan teror di Samarinda.  Sementara seluruh masyarakat untuk berhati-hati dan segera melaporkan ke kepolisian bila terdapat hal-hal mencurigakan.

Ketua Tim Penggerak PKK Samarinda Puji Setyowati Jaang mengecam keras aksi bom molotov di depan Gereja Oikemene, Minggu (13/11) lalu. “Sebagai seorang ibu, tentunya kami sangat tahu betul apa yang dirasakan ibu korban. Apalagi ibu dari ananda Intan saat ini sedang mengandung. Mudahan ibunya kuat, karena bisa berpengaruh terhadap kehamilan,” ucap Puji di rumah duka, kemarin.

Puji juga mendoakan Triniti yang sedang kritis dan dalam penanganan intensif di RSUD AW Sjahranie Samarinda. “Mudahan bisa segera lewat masa kritisnya,” doa Puji.

Begitu pula dengan Alvaro dan Anita yang dikunjungi Puji di RSUD IA Moeis bisa segera pulih. “Jangan ada lagi Intan-Intan lainnya menjadi korban bom,” harap istri dari Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang itu.

SERIBU LILIN

Seribu lilin dinyalakan sebagai tanda berduka dan berdoa untuk Intan Olivia Banjarnahor dan korban lain dari bom molotov di Gereja Oikumene. Puluhan orang berbaju putih memadati area Tepian Mahakam depan Kantor Gubernur, Samarinda. Para tokoh masyarakat dan agama saling bergandeng tangan, sebagai simbol kebersamaan, Senin malam (14/11).

Ketua umum Gerdayak Kaltim Erika Siluq mengatakan, acara tersebut bertujuan mengajak seluruh tokoh agama dan masyarakat, ikut serta berperan langsung melawan terorisme dan radikalisme.

“Ini membuktikan bila seluruh Kaltim berduka dan berdoa atas kejadian beberapa waktu lalu. Saya, sebagai perempuan dan seorang ibu sangat mengecam hal itu. Semua di sini berdoa, semoga tidak ada bom kedua ketiga dan seterusnya,” tuturnya.

Salah seorang tokoh masyarakat Viktor Yuan menyebut, kepergian Intan meninggalkan pesan bahwa pergi bukan untuk memecah belah, tapi untuk bersatu mencegah kekerasan juga terorisme.

“Saya Dayak dan muslim. Saya sangat mengutuk keras kejadian terorisme ini. Saya mengajak masyarakat bersama-sama meminta, pemerintah untuk menghukum pelaku terorisme seumur hidup,” tegasnya.

HARUS BERSATU

Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Pendeta Wardinan S Lidim menyatakan keprihatinannya. “Kami mengutuk keras pelaku. Karena tindakan tersebut telah melampaui batas-batas kemanusiaan, agama manapun termasuk GKE,” beber dia.

Indonesia menurutnya merupakan negara yang menjunjung tinggi dan menghargai kerukunan umat beragama. Pihaknya memohon kepada aparat menyelesaikan secara tuntas. “Kami mengajak umat GKE tidak terpancing. Tetap membangun kerukunan, kekompakan, dan damai di Samarinda,” terang Wardinan. 

Selain itu, pihaknya meminta aparat keamanan meningkatkan keamanan demi menjamin rasa aman umat gereja di manapun, terutama menjelang Natal. “Teroris tidak lagi membidik kota, tapi juga ada di daerah lain, termasuk Kaltim yang dikenal aman dan umat beragamanya sangat rukun,” sambung dia.  (rilis/berau.prokal.co)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here