Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan bahwa Tarif Dasar Listrik (TDL) dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan jenis Gasoline RON 88 (Premium) dan Gasoil 48 (Biosolar) tidak mengalami kenaikan atau tidak berubah sejak tanggal 1 januari 2018 hingga 31 Maret 2018.
Hal ini berarti sejak Juli 2017 hingga Maret 2018 tidak ada kenaikan harga. Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan sudah memastikan bahwa sejak Juli hingga Desember 2017 TDL dan Harga BBM tidak akan naik.
Pemerintah beralasan bahwa keputusan tidak menaikkan TDL dan harga BBM bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat. Listrik dan BBM merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang harus terpenuhi dan terjangkau aksesnya.
Keputusan tersebut layak untuk diapresiasi. Pasalnya, hal ini semakin meneguhkan bahwa Pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan program Energi Berkeadilan.
Program Energi Berkeadilan merupakan komitmen pemerintah dalam memberikan akses energi secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau. Hal itu dilakukan dengan membangun infrastruktur sektor ESDM dan optimalisasi potensi sumber daya alam setempat.
Energi Berkeadilan juga merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang berbunyi bumi, air, udara, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Untuk mewujudkan itu, terkait bidang ketenagalistrikkan, pemerintah mengembangkan pembangkit listrik dengan menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT). Melalui Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017, Menteri ESDM telah menetapkan skema baru pembelian listrik yang berasal dari pembangkit EBT oleh PT PLN (Persero) dengan mengacu pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkit masing-masing daerah.
Dengan skema tersebut, harga jual listrik dari pembangkit EBT kepada PLN dapat ditekan lebih rendah. Hal ini bertujuan agar harga jual listrik dari PLN kepada masyarakat bisa ditekan dan terjangkau. Selain itu, capaian program Elektrifikasi Nasional akan meningkat dan komitmen untuk menciptakan energi yang bersih dapat terpenuhi.
Dengan begitu, komitmen untuk pemerataan dan keterjangkauan harga listrik dapat terjamin dan investasi sektor listrik juga tetap menggairahkan. Kementerian ESDM telah membuka ruang bagi keterlibatan investor dalam melakukan pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. Sebagian besar perizinan untuk EBTKE saat ini telah dilimpahkan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Namun, skema tersebut belakangan ditentang oleh asosiasi pengusaha EBT. Para pengusaha mengeluhkan patokan harga listrik dari pembangkit EBT dalam Permen ESDM 50/2017 terkait ketentuan harga maksimum sebesar 85% BPP listrik setempat. Mereka meminta untuk menggunakan skema tarif minimum atau Feed in Tariff (FIT).
Menurut saya, para pengusaha ini tidak dapat mampu bekerja secara efisien lantaran para pengusaha telah terbiasa menggunakan skema FIT dengan tarif yang jauh lebih tinggi. Sehingga mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi pula.
Seharusnya para pengusaha EBT juga berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan program energi berkeadilan dan elektrifikasi nasional. Sebagaimana diketahui bahwa program tersebut bertujuan untuk menyejahterakan rakyat melalui tarif listrik yang terjangkau.
Apalagi, sepanjang tahun 2017 ini, sudah ditandatangani 68 Power Purchasing Agreement (PPA) atau kontrak perjanjian jual beli listrik antara PLN dengan investor/pengembang EBT. Total kapasitasnya sekitar 1.300 MW.
Padahal, tiga tahun sebelumnya (2014-2016), dengan menggunakan skema FIT yang dapat menjual dengan harga mahal kepada PLN, rata-rata hanya disepakati 16 PPA. Hal ini merupakan pencapaian luar biasa, yang belum pernah dicapai sebelumnya.
Sementara itu, dalam bidang minyak dan gas (Migas), banyak pihak yang meragukan skema baru yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, yakni skema Gross Split. Beberapa kalangan pesimistis dengan skema baru tersebut investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Ternyata kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Hal itu dibuktikan dengan pencapaian penawaran lelang Wilayah Kerja (WK) migas Konvensional dan Non Konvensional tahap I tahun 2017. Dalam penawaran EK migas Konvensional, dari 7 blok yang ditawarkan, 5 blok diminati oleh investor.
Hal tersebut menunjukkan bahwa skema gross split lebih menarik dan diminati daripada tahun sebelumnya yang menggunakan skema cost recovery. Pada tahun 2015, dengan skema cost recovery 8 blok yang ditawarkan tidak laku. Sedangkan tahun 2016, 14 blok yang ditawarkan juga tidak diminati.
Pemerintah juga telah menerbitkan peraturan mengenai perlakukan perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas dengan menggunakan skema gross split. Melalui Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2017, Pemerintah memberikan kepastian dalam investasi hulu migas pada tahap ekplorasi dan eksploitasi hingga produksi.
Maka dari itu, sebagai bagian yang integral dari bangsa Indonesia. Saya menyerukan kepada seluruh pihak dari pelbagai komponen untuk tetap optimis dan bergotong royong dalam menggapai Indonesia yang berkeadilan sesuai dengan Trisakti dan Nawacita. Mari bersama-sama wujudkan Indonesia yang maju dan berkeadilan.
Agus Qbond Shalahuddin
Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN).