Mungkin, bagi sebagian masyarakat perkotaaan, gemerlap lampu nan benderang adalah hal yang sudah sangat biasa. Namun, kebiasaan itu berbanding terbalik dengan yang dirasakan masyarakat Desa Waengapan, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Gelap dan sepi adalah teman setia ketika malam. Terangnya malam adalah hal yang begitu luar biasa bagi mereka.
Selama ini, masyarakat mengandalkan penerangan dari getah pohon damar. Caranya, getah dimasukkan dalam bambu, dibakar, dan jadilah obor penerangan. Harga minyak tanah yang tak menentu, membuat masyarakat hanya kadang kala memakainya untuk penerangan. Itu pun ketika hasil dari penyulingan kayu putih sedang baik untuk perekonomian.
Waengapan sebelumnya merupakan nama dusun. Agar kehidupan menjadi lebih baik, dusun ini kemudian dikembangkan menjadi desa pada tahun 2016. Kegiatan utama warga Desa Waengapan adalah menyuling kayu putih. Di samping itu, pada tahun 2011, Waengapan juga ditetapkan menjadi Komunitas Adat Terpencil.
Peter Latubual, 53 tahun, bercerita, untuk mendapatkan getah pohon damar, Ia dan warga lain harus menempuh waktu selama dua hari untuk menaiki Gunung Biru, tempat tersedianya pohon damar. Binantang buas seolah menjadi teman saat menyusuri hutan, tentu masih dalam gelap.
“Kita gores pohon damar itu. Setelah tindil (wadah tempat menampung getah) penuh, tunggu sampai kering 2 atau 3 hari, setelah itu kita taruh di bakul. Getah damar yang sudah keras itu berat sekali. Kalau anak muda bisa bawa sampai 30 kilo. Di rumah kita isi di bambu, baru kita buat bakar seperti obor,” katanya.
Hal yang sama juga dialami oleh Doni Nurlatu Siswa kelas enam di Sekolah Dasar Negeri Desa Waengapan. Ia harus memiliki konsentrasi yang lebih untuk membaca dan menulis. Bahkan, Jelaga yang dihasilkan dari pembakaran getah damar pun menyebabkan perih di mata. Begitu sulit hidup tanpa penerangan.
“Dulu malam belajar satu jam. Kemarin-kemarin belajar sore saja, kalau malam tidak (belajar), mata perih,” keluhnya.
Kini, kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, masyarakat desa Waengapan. 100 paket LTSHE yang diberikan oleh Pemerintah didistribusikan kepada penduduk di pusat desa sebanyak 75 paket, sementara 25 paket lainnya diberikan di Dusun Fatulaut.
Program LTSHE merupakan upaya Pemerintah diperuntukan bagi rumah pedesaan yang secara geografis dan distribusi penduduknya tersebar serta sulit dijangkau jaringan PLN.
LTSHE juga memiliki beberapa keunggulan, yaitu kekuatan terang mencapai 405 lumen atau setara dengan 40 watt pijar, yang dapat diatur tingkat keterangannya hingga 3 tingkat, apabila diatur dengan penerangan medium bisa tahan 2 hari, pengaturannya dapat dilakukan dengan remote control dan tombol di lampu. LTSHE juga mudah dilepas dari gantungannya, sehingga dapat dijadikan senter untuk warga yang akan beraktivitas di luar.
“Sekarang kita sudah dapat ini lampu surya, kita tidak pakai lagi getah damar atau pelita. Lebih terang, dari jauh kita bisa lihat. Masyarakat juga rasa enak. Luar biasa sudah,” ujar Peter yang terlihat sumringah.
“Terang sudah, enak kalau belajar,” imbuh Doni sambil tersenyum. (HK)