Jamaninfo.com, Rilis – Jakarta, 2 November 2025 — Aliansi Perempuan Indonesia (API) dengan tegas menolak rencana pemerintah era Prabowo-Gibran untuk menjadikan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Menurut API, langkah tersebut merupakan penghinaan terhadap seluruh korban kekerasan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru, sekaligus bentuk pengingkaran terhadap sejarah kelam bangsa.
“Upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan adalah penghinaan bagi para korban rezim Orde Baru dan pengabaian atas sejarah kelam bangsa ini,” tegas Yolanda Panjaitan dari Cakra Wikara Indonesia. Ia menilai, langkah tersebut sebagai upaya membungkam korban agar kasus-kasus pelanggaran HAM tidak pernah terungkap.
Sementara itu, Diyah WR dari Perkumpulan Kecapi Batara Indonesia menyoroti bahwa pengangkatan Soeharto justru melanjutkan praktik penyangkalan sejarah dan diskriminasi, terutama terhadap masyarakat Tionghoa.
“Kami tidak pernah diperhitungkan sebagai warga negara. Banyak kasus kekerasan yang menimpa masyarakat Tionghoa tidak pernah diusut,” ujarnya.
Deretan Pelanggaran HAM di Era Orde Baru
Dalam rilisnya, API memaparkan berbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade, antara lain:
Pembunuhan massal pasca-1965 terhadap ratusan ribu orang dan penahanan jutaan lainnya tanpa proses hukum.
Kekerasan terhadap perempuan, termasuk fitnah dan penyiksaan terhadap anggota Gerwani.
Penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembungkaman kebebasan sipil terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat kritis.
Penembakan misterius (Petrus) pada 1982–1985.
Pembunuhan Marsinah (1993), buruh perempuan yang memperjuangkan hak-hak buruh.
Pembunuhan Udin (1996), jurnalis yang mengungkap dugaan korupsi.
Kekerasan di Timor Timur, Aceh, dan Papua, serta tragedi Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989).
Penculikan aktivis 1997–1998, seperti Wiji Thukul dan Herman Hendrawan yang hingga kini belum ditemukan.
Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, serta pemerkosaan massal 1998 terhadap perempuan Tionghoa, termasuk pembunuhan Ita Martadinata.
Serangkaian kekerasan tersebut, menurut API, menunjukkan karakter militeristik dan represif rezim Orde Baru, yang menindas atas nama stabilitas nasional. Hal itu pula yang memicu tuntutan reformasi untuk menghapuskan Dwi Fungsi ABRI, meski kini justru dikhawatirkan hendak dihidupkan kembali.
Soeharto, Marsinah, dan Penghinaan terhadap Korban
Aliansi juga mengecam keras upaya menyandingkan nama Soeharto dengan Marsinah dalam daftar calon penerima gelar pahlawan.
“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menutup mata terhadap darah dan air mata korban. Menyandingkan Marsinah dengan Soeharto adalah penghinaan terhadap korban,” ujar Dian Septi dari Marsinah.ID.
Marsinah, buruh perempuan yang disiksa hingga tewas, menjadi simbol bagaimana tubuh perempuan selalu dijadikan objek kekerasan oleh kekuasaan ketika rakyat berani menuntut keadilan.
Orde Baru, Ibuisme, dan Penyingkiran Gerakan Perempuan
API juga menegaskan bahwa kekuasaan Soeharto tidak hanya menindas secara politik, tetapi juga menundukkan perempuan melalui ideologi ibuisme.
Menurut Mutiara Ika Pratiwi dari Perempuan Mahardhika, Orde Baru secara sistematis membungkam organisasi-organisasi perempuan dan mengurung peran perempuan dalam ranah domestik.
Hal senada disampaikan Jumisih dari JALA PRT, yang menilai ideologi ibuisme telah menempatkan kerja perawatan dan kerja rumah tangga perempuan sebagai pekerjaan tanpa nilai, memperkuat eksploitasi terhadap pekerja rumah tangga.
Media di Bawah Bayang Orde Baru
Luviana dari Konde.co menyoroti bagaimana Soeharto menciptakan sejarah buruk bagi media Indonesia.
“Soeharto adalah orang yang membuat media tidak independen dan membungkam kebebasan pers. Dampaknya masih terasa sampai sekarang,” ungkapnya.
Seruan Aliansi Perempuan Indonesia
Menutup pernyataannya, API menyerukan tiga tuntutan utama:
1. Menolak pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
2. Menuntut negara menuntaskan penyelidikan pelanggaran HAM masa Orde Baru.
3. Mendesak pemerintah menghormati ingatan sejarah korban, bukan menghapusnya melalui penghargaan politik.
Menurut API, memberikan penghargaan kepada Soeharto bukan hanya kesalahan sejarah, tetapi juga luka baru bagi para korban dan keluarga mereka.
“Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka bila pelaku kekerasan dimuliakan, dan korban terus dilupakan,” tutup pernyataan Aliansi Perempuan Indonesia.(*)
Home Nasional Aliansi Perempuan Indonesia Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: “Penghargaan untuk Penjahat HAM...






