Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto menegaskan bahwa ukuran tingkat kemiskinan dari Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki perbedaan. Menurutnya, ukuran itu disesuaikan dengan kondisi wilayah atau negara masing-masing.
“Rasanya, agak kurang relevan jika berdebat di situ. Kalau pertanyaannya ketinggian, ya tidak juga. Kalau pendapatannya di bawah Rp 3 juta, ya wajar jika dibilang miskin,” ujar Bambang dalam Forum Merdeka Barat (FMB) 9 dengan tema “Fakta Penurunan Angka Kemiskinan” di Ruang Serba Guna Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Senin (30/7).
Menurut Bambang, secara umum, komponen terbesar untuk mengukur garis kemiskinan ada dua hal, yakni kelompok makanan dan bukan makanan. Untuk kelompok makanan yang paling besar adalah beras, dengan besaran 73 persen.
“Karena itu, kenapa kemiskinan di masing-masing provinsi berbeda-beda, karena cara memenuhi kebutuhan kalorinya juga berbeda-beda. Misalnya, di Jakarta memakan pisang, tapi di Amerika nilai dan harganya cukup tinggi. Sehingga bisa dikatakan kalau yang bisa mengkonsumsi pisang berarti bukan orang miskin,” jelasnya.
Bambang menerangkan bahwa menurut BPS garis kemiskinan Indonesia lebih tinggi daripada garis kemiskinan bank dunia. Jika menggunakan patokan bank dunia, maka angka kemiskinan Indonesia di tahun 2016 masuk di atas garis kemiskinan.
“Yang perlu kita perhatikan, kalau garis kemisikinan tiap kali diukur selalu berubah. Jadi tidak menggunakan. Kalau patokannya bukan makan singkong lagi, jelas kita sudah tidak bisa dibilang miskin karena sudah mengkonsumsi beras,” terangnya.
Karena itu, menurut Bambang, kalau menggunakan parameter bank dunia, kemiskinan di Indonesia tidak terlalu rendah. Dan ini berbeda dengan parameter BPS.
“Penanggulangan kemiskinan tidak bisa bergantung hanya kepada bantuan sosial, tapi dari patokan dan ukuran garis kemiskinan itu sendiri. Salah satunya dengan menjaga harga, khususnya harga beras. Itu yang paling penting dilakukan saat ini,” ungkapnya.
Terkait ketimpangan, lanjut Bambang, di kelompok 40 persen ke bawah, artinya program-program pemerintah terbukti bisa mempercepat pertumbuhan konsumsi masyarakat di level yang paling bawah.
“Mudah-mudahan jika tren ini dapat terjaga, angka ketimpangan kita ke depannya akan terus menurun dan dampaknya kesejahteraan masyarakat terus meningkat,” pungkasnya.
Reporter: Rahmawati Alfiyah