PT Freeport Indonesia baru saja mendapatkan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara hingga 30 Juni 2018. Perpanjangan izin sementara tersebut diberikan oleh Pemerintah Indonesia agar Freeport dapat melanjutkan operasi tambangnya di Papua.
PT Freeport masih menggunakan IUPK sementara untuk melakukan operasinya. IUPK sementara diberikan oleh Pemerintah Indonesia lantaran Freeport bersedia untuk mengubah skema kontrak dari Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK.
Perpanjangan kontrak berupa IUPK selama 2 kali 10 tahun (hingga 2041) akan diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Freeport jika bersedia untuk melakukan divestasi 51% saham, melakukan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri, dan memberikan stabilitas penerimaan negara.
Sebenarnya, kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diberikan mandat oleh Presiden Joko Widodo untuk melakukan perundingan telah menyelesaikan hal tersebut. Melalui konferensi pers antara kedua belah pihak yang dilakukan pada bulan Agustus 2017 lalu telah disepakati bahwa Freeport bersedia untuk merubah skema KK menjadi IUPK, melakukan divestasi saham 51%, membangun smelter, memberikan kepastian stabilitas penerimaan negara, dan perpanjangan kontrak.
Selanjutnya, untuk pembahasan secara teknis kesepakatan tersebut akan dilakukan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan. Kementerian BUMN bertugas untuk menyelesaikan pembahasan secara detail mengenai mekanisme divestasi dan hitungan harga saham. Sedangkan Kemenkeu bertugas untuk menyelesaikan persoalan perpajakan dan penerimaan negara.
Hingga saat ini negosiasi mengenai divestasi saham 51% antara Pemerintah dengan Freeport belum mencapai titik temu. Hal itu lantaran adanya perbedaan dalam menentukan perhitungan saham. Bahkan, untuk menyelesaikan perbedaan hitungan saham tersebut, Pemerintah mencoba untuk mengambil opsi lain, yakni dengan membeli 40% hak partisipasi (participating interest) Rio Tinto.
Rio Tinto merupakan pemegang PI dalam proyek Freeport. Freeport memiliki perjanjian dengan perusahaan asal Inggris-Australia tersebut sejak tahun 1990 terkait dengan pendanaan dan operasi. Jika Pemerintah berhasil membeli hak Rio Tinto, maka hak tersebut akan dikonversikan menjadi saham. Hal ini adalah upaya untuk mencapai target 51% saham.
Opsi tersebut digunakan oleh Pemerintah agar dapat melakukan divestasi saham dengan harga yang lebih murah. Namun, perlu diingat, jangan sampai Freeport terlibat dan ikut campur dalam proses pembelian hak tersebut. Karena Pemerintah akan terjebak kembali dengan permainan harga yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Freeport tentu akan menggunakan segala cara dalam mengganggu dan mempersulit proses divestasi yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Selain mencoba untuk melakukan intervensi dalam proses pembelian hak Rio Tinto, Freeport juga berpotensi untuk menggunakan pihak lain untuk memiliki kembali sahamnya.
Freeport bisa saja menggunakan pejabat maupun orang yang mempunyai pengaruh besar di PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) untuk memuluskan niatnya. Hal itu mungkin saja dilakukan lantaran Freeport telah terbukti menggunakan strategi semacam itu berulang-ulang kali. PT Inalum (Persero) merupakan holding BUMN yang sudah memiliki 9,36% saham di PT Freeport Indonesia. PT Inalum juga ditugaskan oleh Pemerintah untuk melakukan pembelian sisa saham sebesar 41,64% milik PT Freeport.
Terkait ketentuan perpajakan, Pemerintah juga harus tetap menggunakan skema prevailing (dinamis). Skema tersebut sudah sesuai ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Selama ini, dalam Kontrak Karya, Freeport selalu menggunakan skema nail down (statis).
Dengan menggunakan skema prevailing, maka Freeport harus membayar ketentuan pajak sesuai UU berlaku, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 25 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, Pajak Penjualan (PPn) sebesar 2,3 persen hingga 3,0 persen.
Sedangkan dari sisi bea keluar, sebelumnya Freeport masih dikenakan bea keluar sebesar 5,0 persen. Namun, ke depan, sesuai dengan IUPK, Freeport harus membayar 7,5 persen lantaran pembangunan smelter belum mencapai 30 persen. Selain mengenai ketentuan perpajakan dan bea keluar, Freeport dikenakan biaya royalti dari produksi emas dan perak.
Maka dari itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kementerian dan lembaga yang terkait dengan proses perundingan dengan Freeport perlu untuk segera mempercepat penyelesaian perundingan. Pasalnya, semakin lama proses penyelesaian pembahasan dilakukan, Freeport akan semakin diuntungkan.
Selain itu, saya menghimbau agar masyarakat terlibat aktif dalam mencermati dan mengawal proses perundingan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia. Masyarakat harus memastikan bahwa perundingan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian energi bagi bangsa Indonesia.
Arkilaus Baho
Penulis adalah Fungsionaris di Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Kemandirian Nasional (DPP JAMAN)