Home Opini Belajar Demokrasi Tempel-Tempel Ala Jokowi Demi Masa Depan Indonesia

Belajar Demokrasi Tempel-Tempel Ala Jokowi Demi Masa Depan Indonesia

382
0
SHARE


By ArkiPapua

Presiden BJ Habibie kader tulen partai Golkar. Presiden Gus Dur pendiri Partai PKB, Presiden Megawati pendiri PDIP, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pendiri partai Demokrat. Presiden Jokowi?


Jamaninfo.com, Opini – Diakhir masa jabatan, untuk mengamankan kekuasaan sekaligus kebijakannya, Presiden Jokowi memperagakan “demokrasi tempel-tempel”. Dengan cara iming-iming jabatan, uang, kekuasaan, demokrasi titip menitip seakan berhasil dijalankan.

Nasib kelanjutan ibu kota nusantara (IKN), nasib mantu dan anak-anaknya, serta beban utang luar negeri, begitu membuat presiden yang berkuasa dua bulan lagi, memikirkan skenario agar diteruskan oleh kekuasaan berikutnya.

Demokrasi tempel atau titip itu begitu penting sebab Jokowi sendiri bukan pemilik, pendiri atau penguasa partai politik sebagaimana pemimpin lainnya. Prabowo sebagai presiden terpilih begitu santai sebab beliau memimpin partai Gerindra belasan tahun hingga sekarang belum diganti.

Demokrasi ditopang oleh produk hukum dan kebijakan politik penguasa. Jika demokrasinya tempel-tempel maka  konsekuensinya merubah berbagai produk hukum termasuk konstitusi. Gelagat itulah yang kini tenar di akhir masa jabatan presiden yang berkuasa selama sepuluh tahun tersebut.

*Tempel-tempel Kekuasaan Pemerintahan*

Awalnya seorang tukang kayu/pengusaha kayu di kota solo tersebut dijajaki oleh Partai berlogo banteng, PDIP, untuk maju walikota solo. Berhasil memenangkan dan berkuasa, belum berakhir masa jabatannya, Jokowi digendong PDIP masuk Jakarta dan berhasil menang. Belum selesai masa jabatan sebagai gubernur, partai yang berwarna merah itu juga mengusungnya maju presiden dan menang.

Begitu istimewanya Jokowi yang tak punya partai itu, didukung oleh partai yang dipimpin oleh Megawati. Periode pertama jabat presiden, tak ada angin ribut apapun. Tapi, di akhir periode kedua, ide tentang titip menitip mulai dilakukan. Merasa diri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi Republik Indonesia, apapun yang dia mau tentu terlaksana.

Melalui partai yang menggendongnya dari solo, dia kemudian menitip mantunya untuk maju walikota medan dan berhasil. Merasa berhasil, Jokowi kembali menitipkan anaknya Gibran maju walikota solo dan berhasil. Tak berhenti disitu, anaknya, Gibran maju bersama eks jenderal kopassus, Prabowo, dan menang pilpres 2024, menanti dilantik pada 20 oktober. Praktik tempel-tempel kekuasan pemerintahan telah berhasil. Bagaimana nasibnya sang penguasa hendak melanjutkan kekuasaan namun tak punya partai politik?

*Tempel-tempel Partai Politik*

Demokrasi liberal masa kini, bila ingin jabat presiden, gubernur, bupati, walikota, wakil rakyat, semua masuk melalui partai politik. Maka kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan legislatif wajib berpolitik melalui partai. Entah melalui cara; membeli suara partai atau bagian dari kader partai, proses tersebut mutlak. Berpartai untuk mengejar dan merebut kekuasaan tak bisa dipisahkan. Nasib Jokowi ingin kroninya, keluarganya berkuasa tapi tidak punya partai sendiri, apa yang terjadi?

Operasi pembegalan, kudeta, koalisi, pecah belah, dilancarkan pada partai yang berkuasa saat ini. Publik tahu bahwa selain PPP dan Hanura, partai PDIP, Gerindra, PKB, PAN, Nasdem, Perindo, partai tersebut tak ada pergantian ketua umum selama dua periode kekuasaan Jokowi. Golkar yang tadinya bersiap munas untuk pergantian ketua umum pada desember mendatang, tiba-tiba ketua umumnya mundur dan percepat munas di bulan agustus.

Partai PKB diteror oleh jajaran PBNU untuk mengusik kepemimpinan Muhaimin Iskandar. Pergerakan PBNU muncul usai Jokowi beri konsesi tambanga kepada ormas keagamaan. Hiruk pikuk PKB berakhir usai PKB gabung koalisi partai (Koalisi Indonesia Maju) plus. Ketua umum Golkar yang juga bagian dari KIM pun mendadak mundur. Partai berlogo beringin itu memajukan munas dan menghasilkan ketua umum yang baru dalam hitungan hari. Mengancam PDIP melalui kasus hukum harun masiku hingga isu liar judi online, petinggi partai PDIP dipanggil KPK. Tak mempan dengan gertakan itu, menteri dari partai yang bukan KIM, PDIP dicopot. Menkumham dan menteri ESDM dicopot. Melalui KIM, Jokowi sudah anggap sudah kuasai parpol. Tapi jangan lupa, kekuasaan atas parpol itu semata-mata praktik tempel-tempel belaka dengan iming-iming jabatan, ancaman kasus hukum dan lainnya.

Reformasi 1998 silam barangkali tak memikirkan akan muncul sosok seperti Jokowi yang memaksakan kemauannya sehingga menimbulkan kegaduhan. Reformasi kelembagaan negara pun belum menyelesaikan konflik kepentingan antara Pemerintahan, Yudisial, Yudikatif dan Legislatif. Sebab demokrasi apapun bentuknya, dijalankan atau diwujudkan oleh lembaga tersebut. Demokrasi ditopang oleh hukum sebagai jalannya, lalu bagaimana ketika penguasa tempel menempel keinginan?

*Tempel-tempel di Pengadilan dan konstitusi*

Ketika Jokowi berhasil tempel anaknya berpasangan dengan Prabowo Subianto maju capres dan cawapres, upaya konstitusi dilakukan. Melalui iparnya di Mahkamah Konstitusi, berhasil meloloskan Gibran ke pucuk kekuasaan. Lanjut lagi, anak bontotnya diloloskan melalui putusan mahkamah agung. Pada akhirnya, upaya tempel kekuasaan oleh Jokowi itu dihentikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Seolah-olah mengaminkan independensi masing-masing lembaga negara, akhir-akhir ini Jokowi begitu galau lantaran pola titip menitip yang sudah berhasil melalui putusan Mahkamah Agung bahwa usia calon gubernur, wakil gubernur, ditetapkan saat pelantikan. Anak bontot Jokowi, Kaesang, pun telah mengurus berbagai syarat untuk maju mendaftar pada 27 Agustus mendatang. Upaya tersebut gagal ketika mahkamah konstitusi memutuskan usia calon gubernur dan wakil gubernur ditetapkan saat pendaftaran.

Merasa gagal titip di jalur yudikatif, Jokowi bergegas memanfaatkan menkopolhukam yang baru dilantiknya itu untuk mendobrak lembaga legislatif (DPR), agar segera merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) lalu ketuk palu mengesahkan Undang-undang (UU) pilkada. Upaya tersebut gagal lantaran anggota DPR yang hadir tak memenuhi kuorum.

Belajar dari pakde Jokowi bahwa memimpin negara melalui kebijakan sebagus apapun juga, pro rakyat pada awalnya, tetap kembali pada hati nurani, apakah iklas atau tetap ingin berkuasa walaupun jabatan telah berakhir. Presiden Jokowi dalam 10 tahun kepemimpinannya, berhasil bangun jalan di berbagai daerah, tol laut, jalan trans papua, tol jawa, tol sumatera, kereta api lintas sulawesi dan sumatera, bandara, pelabuhan, memerkarkan enak provinsi sekaligus di Papua. Enam kawasan ekonomi strategi strategis dibangun.

Ibu Kota negara pun pindah dari Jakarta ke Kalimantan. Pada akhirnya, ujung pangkal dari 10 tahun pemerintahannya, Indonesia punya tambang emas dunia, freeport Indonesia, toh kemampuanya hanya menguasai saham, bukan mengolah atau memproduksinya sendiri. Begitu juga nasib IKN, dan infrastruktur lainnya, Negara Indonesia hanya mampu memberi jaminan regulasi kepada pengusaha lokal, pengusaha internasional justru menguasai dan mengoperasikan kereta cepat (woosh) dan sebagian masih pikir-pikir, sebab dibalik ketersediaan regulasi negara juga antri para tengkulak, pemburu rente, oligarki berbaju nasionalisme dan patriotisme NKRI.

*Jokowi dan Demokrasi Tempel*

Presiden Jokowi, dalam menjalankan masa jabatannya, telah mempraktekkan apa yang disebut sebagai “demokrasi tempel-tempel”. Dengan cara ini, kekuasaan dan kebijakannya dijalankan dengan menitipkan kepada orang-orang terdekatnya melalui iming-iming jabatan, uang, dan kekuasaan.

Salah satu aspek penting dari demokrasi tempel ini adalah kekhawatiran akan kelanjutan kebijakannya, termasuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), nasib keluarga, dan beban utang luar negeri. Dalam menghadapi akhir masa jabatannya, Presiden Jokowi telah mempersiapkan skenario agar kekuasaannya dapat diteruskan oleh pihak-pihak berikutnya yang akan memimpin negara.

Tantangan utama bagi Jokowi adalah kenyataan bahwa beliau bukanlah pemilik, pendiri, atau penguasa partai politik seperti para pemimpin lainnya. Hal ini membuatnya bergantung pada partai politik yang mendukungnya, seperti PDIP yang dipimpin oleh Megawati.

Praktik demokrasi tempel-tempel ini terlihat jelas dalam perjalanan karir politik Jokowi, mulai dari menjadi Wali Kota Solo hingga Presiden Republik Indonesia. Jokowi didukung oleh partai politik dalam setiap tahapan karir politiknya, termasuk dalam mencalonkan keluarganya dalam berbagai jabatan politik, seperti anaknya yang maju sebagai Walikota Medan dan Gibran yang maju sebagai Walikota Solo.

Namun, tantangan muncul ketika Jokowi ingin memastikan kelanjutan kekuasaannya tanpa memiliki partai politik sendiri. Hal ini membuatnya terpaksa menggunakan berbagai cara, mulai dari operasi pembegalan, kudeta, koalisi, hingga pecah belah partai politik yang berkuasa saat ini.

Upaya Jokowi untuk memastikan keluarganya tetap berkuasa tanpa memiliki partai politik sendiri menimbulkan konflik kepentingan di berbagai lembaga negara, termasuk pemerintahan, yudisial, legislatif, dan konstitusi. Praktik demokrasi tempel-tempel ini juga menciptakan kegaduhan dan perdebatan dalam sistem politik Indonesia.

Meskipun Jokowi berhasil membangun berbagai infrastruktur dan proyek strategis selama kepemimpinannya, termasuk pembangunan jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan, namun tantangan terbesar tetap terletak pada upaya menjaga keberlanjutan kebijakannya.

Di akhir masa jabatannya, Jokowi harus menghadapi penolakan dari Mahkamah Konstitusi terkait upaya titipan kekuasaan kepada keluarganya, yang menunjukkan bahwa independensi lembaga negara tetap dijunjung tinggi.

Jokowi belajar bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang membangun infrastruktur, tetapi juga tentang menjaga integritas, independensi lembaga negara, dan demokrasi yang sehat. Praktik demokrasi tempel-tempel yang dilakukan selama masa jabatannya menunjukkan kompleksitas politik Indonesia yang tetap harus dihadapi oleh para pemimpin masa depan.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here