Oleh Ichsanuddin Noorsy
Jaman.or.id, Opini (24/6)- Sebuah keputusan memenuhi janji kampanye telah dilakukan David Cameron Perdana Menteri Inggris. Yakni mengundurkan diri dari jabatannya setelah referendum apakah akan tetap bersama atau keluar dari Uni Eropa (UE) menghasilkan 52 keluar dan 48 tetap berama UE. Mundur dari jabatan ini adalah konsekuensi logis karena saat kampanye Mei 2015 Cameron menjanjikan referendum Brexit di saat dirinya sendiri mendukung Inggris tetap bersama UE. Tema kampanye adalah Britain Stronger in Europe. Kubu lawan menghendaki keluar dari UE dengan tema kampanye, Good Bye Europe, Hello World. Dua kubu ini begitu sengit bertarung sebagaimana nampak pada hasil referendum.
Paling tidak ada lima hal yang dipertentangkan. Yakni perdagangan luar negeri, iuran keanggotaan UE, regulasi terpusat UE, imigrasi dan ketenagakerjaan, dan peran internasional Inggris. Bagi kubu Cameron dan kawan-kawan, ke lima hal itu menguntungkan Inggris. Kubu lawannya menyatakan sebaliknya, Inggris merugi. Dalam perdagangan internasional, misalnya, ekspor Inggris ke UE mencapai 50 persen. Sementara ekspor UE ke Inggris 6,6 persen. Namun Inggris harus membayar iuran keanggotaan 350 juta pound sterling pekannya ke UE. Inggris juga merasa, peranan internasionalnya tereduksi oleh UE dan migrasi ke Inggris terus meningkat. Dampak sosialnya adalah ketimpangan ekonomi dan konflik sosial secara horizontal yang meningkat. Pertimbangan ini yang membuat kubu good bye europe dipandang lebih logis oleh para pemilik suara.
Yang lebih menarik adalah, kekalahan kubu Cameron dan kawan-kawan nyaris bukan merupakan harapan bagi banyak kalangan di dunia. Harapan ini bisa dipahami karena secara politis AS telah melakukan berbagai kebijakan yang mendukung Cameron, walau Cameron sempat disentak melalui Panama Papers. AS tidak ingin gagasnya kandas. Hal itu bukan saja nampak pada sikap Obama, bahkan terpapar jelas pada berbagai kalangan petinggi AS termasuk petinggi AS di Indoensia. Selama hampir empat bulan Pemerintahan Obama mendukung kampanye Britain Stronger in Europe. Demi konsisten pada cita-cita integrasi ekonomi (bermuatan liberalisasi seluruh sektor dan kebebasan berusaha) dan mencegah UE menjadi lemah, Obama meminta komitmen Jerman dan Perancis. Tapi apalah arti komitmen dua negara ini jika Inggris keluar. Sementara kubu Inggris yang bersikeras keluar dari UE lebih disebabkan kesadaran bahwa selama bergabung dengan UE, nilai Pound Sterling terus melemah. Di balik ini, Inggris menyuarakan kepentingan nasionalnya.
Dampak seketika dari hasil referendum itu adalah, semua pasar uang melemah karena memang London merupakan pusat perdagangan mata uang asing (forex) dan komoditas strategis seperti emas, perak, minyak dan pasar derivatif lainnya. Hanya mata uang Yen yang bertahan. Lalu sebagian kalangan menyebutkan bahwa masa depan perekonomian global makin tidak jelas. Volatilitas makin menjadi, sementara Inggris sendiri terancam resesi di saat AS sudah menuju resesi.
Secara khusus dampak terhadap Indonesia lebih karena sentakan perekonomian global yang terpengaruh oleh keputusan referendum. Ini disebabkan Inggris dan UE tidak termasuk dalam 10 negara berpengaruh dalam ekspor dan impor ke Indonesia. Karena itu BI memberi sinyal aman. Sedangkan dari utang luar negeri Indonesia, dari total utang 318,979 miliar dolar AS, mata uang dolar AS menguasai 69,07 persen, dan dalam bentuk Pound Sterling hanya 349 juta dolar AS, serta dalam bentuk Euro money sebanyak 8.294 juta dolar AS atau sekitar 0,026 persen dari total utang luar negeri.
Namun sebagaimana kajian yang muncul di Eropa dan AS sendiri, teori integrasi ekonomi menjadi tidak sepenuhnya sahih. Stiglitz menyebut bahwa model kebijakan liberal dalam bentang integrasi ekonomi menunjukkan kegagalan sistem dan melahirkan ketimpangan. Krugman, Diamonds, dan beberapa ekonom lain di AS juga berpendapat relatif sama. Lalu bagaimana dengan Masyarakat Ekonomi Asean ? Konstruksi integrasi ekonomi MEA tentu saja berbeda dengan UE. MEA melompati beberapa tahap dari langkah-langkah terbentuknya kawasan ekonomi terintegrasi, seperti tahap Common Market dan Economic Union dan langsung ke integrasi ekonomi total. Dan belajar dari cara UE mengatasi krisis melalui ekspansi moneter dan konstraksi fiskal, sedangkan AS mengatasinya dengan ekspansi moneter dan fiskal, muncul pertanyaan, setelah berada di era MEA, kebijakan yang mana yang akan Indonesia pilih jika terjadi krisis ? Tak ada resep kebijakan 100 persen mujarab jika pilihan kebijakannya tetap sama: liberalisasi tanpa batas. Ini berarti Indonesia patut dan layak menoleh ke dalam dan tidak melulu membebek pada kemauan MEA : outward looking. Keterbukaan tanpa batas sama dengan memberi peluang pihak lain mendikte ekonomi domestik. Alasan inilah yang membuat kubu good bye UE, hello worldmenang.###
Jakarta, 24 Juni 2016