Home Opini Budaya adalah Panglima (Percikan Pemikiran Soedurisme)

Budaya adalah Panglima (Percikan Pemikiran Soedurisme)

173
0
SHARE

Indonesia sudah mengalami dua fase/tahap yang lengkap yaitu revolusi ideologi dan revolusi politik. Revolusi ideologi adalah tahap pembentukan identitas nasional melalui nasionalisme yang dikobarkan oleh Soekarno sehingga terbentuklah Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Revolusi selanjutnya adalah revolusi politik yang diprakarsai Soekarno dan disempurnakan melalui reformasi politik 1998. Demokratisasi adalah bentuk penyempurnaan dari revolusi belum selesainya Soekarno (pidato 17 Agustus 1964). Soekarno berkata, “Revolusi kita bukan sekadar mengusir Pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita menuju lebih jauh lagi daripada itu…!!!”

Gus Dur melalui Forum Demokrasi (berdiri setelah hasil Mufakat Cibeureum II pada 17 Maret 1991) menjadi salah satu inisiator dari penyempurnaan revolusi politik Soekarno.

Menurut Forum Demokrasi, bahwa proses demokratisasi memerlukan haluan yang jelas dan karena ini harus didukung oleh pekerjaan pengorganisasian yang sistematik dan strategis.

Forum Demokrasi menekankan, “Salah satu soal penting yang kita hadapi adalah bahwa kita sedang menyaksikan terbentuknya masyarakat massa, yaitu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya telah kehilangan otonomi akibat birokratisasi, sehingga kekerasan dari semua pihak mendominasi cara-cara penyelesaian masalah.”

Demokratisasi adalah jalan dan pintu bagi rakyat kecil untuk bisa menikmati hasil-hasil pembangunan lebih banyak lagi, meningkatkan kesejahteraan dan menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Bahkan, Gus Dur menjadi presiden pertama pada era itu dan berhasil membongkar dinding-dinding otoritarianisme yang kokoh bertahan lebih dari 30 tahun.

Saat yang sama Gus Dur memulai yang namanya Strategi Kebudayaan membangun Indonesia yang utuh, plural dan integral melalui kekuatan diplomasi. Dengan strateginya Gus Dur dapat menyelesaikan persoalan hampir semua ketakutan masyarakat Tionghoa menjalankan adat istiadatnya, menurunkan tensi konflik Aceh-Jakarta (GAM), menekan gerakan separatisme OPM, dan menggalang solidaritas internasional untuk keutuhan Indonesia.

Sayangnya, seperti Soekarno, strategi kebudayaan Gus Dur belum selesai. Strategi kebudayaan Gus Dur adalah pijakan yang pas dan tepat untuk menyempurnakan revolusinya Soekarno yang belum selesai.

Revolusi adalah istilah yang selalu digunakan oleh Soekarno dan Kebudayaan adalah pendekatan yang dikembangkan Gus Dur untuk mengukuhkan kembali Indonesia. Dengan pendekatan kebudayaan maka Indonesia bukan hanya entitas ideologi dan batas-batas geopolitik semata tapi Indonesia adalah jiwa raga bangsa Indonesia.

Revolusi kebudayaan adalah bentuk pembangunan manusia Indonesia yang majemuk untuk menjadi satu kesatuan bangsa yang kokoh mencapai cita-cita kebangsaannya. Budaya adalah panglima, mengubah perbedaan menjadi kekuatan.

Ada empat persoalan yang harus diatasi melalui revolusi kebudayaan Soedurisme. Pertama, kebebasan mengutarakan pendapat (termasuk inovasi) belum sepenuhnya terlindungi apalagi dalam bingkai akademik atau ekspresi kesenian.

Dengan alasan mengganggu ketentraman dibunuhlah hakekat kemanusiaan kita. Kebebasan adalah prasyarat utama bagi lahirnya inovasi dan spirit kemajuan. Jika sejak awal dibunuh maka bangsa ini sudah berhenti menjadi bangsa yang maju. Negara harus mampu memberi batas dan perlindungan yang jelas kepada prinsip kebebasan ini.

Kedua, koeksistensi agama di Indonesia harus secepatnya diselesaikan. Prasangka antar agama, inter agama dan diskursus agama versus negara adalah persoalan dinamis yang tidak boleh menggangu proses kemajuan bangsa. Justru sebaliknya, kemajemukan harus menjadi modal besar bagi kemajuan bangsa sehingga tidak ada lagi tuntutan berdirinya negara agama.

Ketiga, prasangka rasial warisan penjajahan harus segera diakhiri. Prasangka ini lahir karena politik kolonialisme yang ingin memecah belah bangsa Indonesia. Gus Dur memulai dengan memberikan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa menjalankan tradisi budayanya dan merayakan imlek secara terang-terangan. Ini belum selesai dan harus ada upaya negara yang lebih baik lagi memberikan perlindungan kepada warga Tionghoa sekaligus menghilangkan gap/kesenjangan yang menjadi alasan berkembangnya prasangka rasial tersebut.

Keempat, ancaman Papua merdeka jangan dipandang sepele. Masyarakat Papua mewarisi perdebatan lama tentang kemerdekaan mereka yang belum tuntas. Gus Dur sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik yaitu membolehkan bendera Papua berkibar disamping bendera merah putih.

Dalam negara federal hal itu lumrah dilakukan dimana negara bagian memiliki bendera yang berkibar disamping bendera nasional mereka. Apalagi Papua memang daerah yang memiliki otonomi khusus, yang dalam pengertian lainnya kurang lebih sama dengan negara bagian. Namun Gus Dur menyebut bendera itu sebagai ekpresi budaya masyarakat Papua yang tidak membahayakan eksistensi bangsa Indonesia, malah sebaliknya justru memperkuat persatuan.

Namun, tugas Gus Dur itu belum selesai saat beliau dijatuhkan sehingga harus terus dilanjutkan. Jika ketidakadilan sosial masih terus dipertahankan sebagai pendekatan kepada masyarakat Papua maka ancaman memisahkan diri itu akan semakin manifest dan mengancam integrasi.

Ramalan bubarnya Indonesia pada tahun 2030 hanyalah isapan jempol jika bangsa ini bisa segera menyelesaikan empat agenda besar diatas.

 

Muhaimin Iskandar

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here