Gempa bumi bermagnitudo 7,4 yang terjadi pada 28 September 2018 lalu di Sulawesi Tengah (Sulteng) memberikan dampak yang sangat luar biasa. Gempa tidak hanya merusak bangunan, tetapi juga memicu terjadinya tsunami, longsor, dan likuifaksi.
Fenomena likuifaksi terjadi di beberapa titik di wilayah Sulteng seperti di Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sibalaya. Kesehatan lingkungan terkait wilayah terdampak likuifaksi pun menjadi salah satu perhatian Pusat Krisis Kementerian Kesehatan.
“Pascabencana, masyarakat perlu mewaspadai penyebaran penyakit yang disebarkan oleh vektor atau hewan yang menjadi perantara menularnya penyakit, seperti lalat, kecoa, dan tikus. Vektor tersebut perlu upaya disinseksi atau tindakan penyehatan yang bertujuan untuk mengendalikan atau membunuh vektor perantara penularan,” kata Kepala Biro Humas dan Prokol Pemprov Sulteng M Haris Kariming dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin (15/10).
Haris memastikan bahwa efek cairan disinfektan tidak berbahaya bagi manusia. Penyemprotan ini bertujuan untuk upaya pencegahan terhadap penyakit seperti diare, kolera, malaria, dan demam berdarah.
Maka itu, pemerintah daerah setempat mengimbau masyarakat yang berada di luar rumah dan tenda pengungsian pada saat disinseksi untuk menggunakan masker penutup hidung dan mulut. Selain itu, masyarakat yang berada di luar rumah dan tenda pengungsian sekitar Balaroa dan Petobo yang menyaksikan proses penyemprotan untuk berada di radius 200 meter dari titik penyemprotan.
“Waktu 6 jam setelah penyemprotan efek carian disinfektan aman dan bersih bagi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Haris, penyemprotan dengan helikopter ini rencananya akan dilakukan pada Selasa (16/10), dengan disupervisi oleh tim gabungan dari Kemenkes, Kesehatan TNI, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.
“Penyemprotan tersebut sangat memperhatikan berbagai parameter seperti kecepatan angin dan dosis disinfektan,” kata dia.
Sementara itu, hari ini akan dilakukan penyemprotan dan pengasapan cairan disinfektan di wilayah seputaran Petobo dan Balaroa.
Seperti diketahui, gempa yang mengguncang beberapa wilayah di Sulawesi Tengah, antara lain di Sigi, Donggala, dan Palu, pada akhir September lalu mengakibatkan ribuan jiwa meninggal dunia dan luka berat, serta lebih dari 281.759 mengungsi.
Berdasarkan data Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad) per 14 Oktober 2018 pukul 17.00 WITA, korban meninggal dunia tercatat 2.095 orang, luka berat 4.612 orang, hilang 680 orang, dan tertimbun 152 orang.
Pemprov Sulteng pun telah memperpanjang status tanggap darurat hingga 26 Oktober 2018. Saat ini, pemerintah daerah setempat dengan dukungan kementerian/lembaga sedang melakukan survei lokasi untuk pembangunan hunian sementara.
Sumber: https://jpp.go.id
Editor: Rahmawati Alfiyah