Home Energi Di Balik Rekomendasi MRP, Siapa yang Mengatur Arah Freeport?

Di Balik Rekomendasi MRP, Siapa yang Mengatur Arah Freeport?

1239
0
SHARE



Oleh: Jemi Kudiai, Pemerhati Otonomi Khusus Papua (Otsus), Generasi Muda dan Pemerhati Ekonomi Politik dan Wasekjen DPP JAMAN

Jamaninfo com, Opini – Kondisi rakyat Papua saat ini sangat kencang mengkampanyekan dan mendorong agar Frans Pigome diangkat menjadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia kini menjadi perbincangan publik di Papua. Namun di balik narasi “putra Papua memimpin di tanahnya sendiri,” tersimpan agenda yang lebih kompleks sebagai operasi politik dan ekonomi negara untuk mengamankan investasi besar, termasuk rencana masuknya investor Tiongkok dalam pengelolaan tailing Freeport.

Isu Frans Pigome yang Menggelinding Cepat
Dalam beberapa bulan terakhir, publik Papua dihebohkan oleh kampanye yang massif di media sosial. Isinya satu: mendesak Presiden agar mengangkat Frans Pigome, salah satu putra asli Papua, sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, dan layak menduduki posisi tersebut. Seruan ini muncul serentak di berbagai platform, membawa pesan kebanggaan etnis dan keadilan local atau semangat kearifan lokal.

Banyak warganet menganggap hal ini sebagai bentuk “pembalikan sejarah” seolah dengan menempatkan Frans Pigome di puncak kepemimpinan Freeport, rakyat Papua akhirnya bisa memiliki kendali atas tambang di tanahnya sendiri. Namun di balik euforia itu, publik mulai bertanya-tanya, mengapa isu ini muncul begitu cepat, begitu masif, dan terorganisir? Mengapa figur yang diusung seolah sudah dipersiapkan dari awal?

Pertanyaan-pertanyaan ini membuka ruang analisis yang lebih luas ke public bahwa isu Frans Pigome bukan semata aspirasi lokal, melainkan bagian dari operasi politik dan ekonomi yang lebih besar.

Jabatan Presiden Direktur Freeport Bukan Sekadar Teknis
Perlu dipahami, jabatan Presiden Direktur Freeport tidaklah murni jabatan professional semata, akan tetapi memiliki tangung jawab berat. Posisi itu sarat dengan dimensi politis karena menyangkut arah kebijakan negara, hubungan dengan korporasi global, dan pengelolaan sumber daya strategis nasional seperti PT. Freeport.

Dengan demikian, siapa pun yang duduk di kursi tersebut akan memegang kunci antara kepentingan nasional dan kekuatan modal internasional. Menempatkan seseorang di posisi ini tidak hanya soal kompetensi, tetapi juga soal kepercayaan politik dan kepentingan ekonomi.

Oleh sebab itu, jabatan ini bisa menjadi bagian dari strategi negara untuk mengamankan investasi besar yang sedang atau akan berjalan, termasuk kerja sama dengan pihak luar negeri yang berkepentingan di Papua.

Bukan Satu-satunya Putra Papua
Muncul kesan bahwa Frans Pigome adalah satu-satunya figur Papua yang layak dan memiliki pengalaman panjang di Freeport. Pandangan ini tentu menyesatkan bagi beberapa kelompok yang berkepentingan sebagai rival. Kenyataannya, banyak putra-putri Papua lain yang bekerja dan berkarier di berbagai divisi strategis perusahaan tersebut, bahkan memiliki kemampuan manajerial yang tidak kalah dari Frans Pigome.

Namun usulan public wajib di pertimbangkan oleh Negara. Mengaitkan kepemimpinan Freeport hanya dengan satu nama justru mempersempit makna representasi Papua. Semangat “orang Papua memimpin” seharusnya tidak berhenti pada simbol personal, tetapi diukur dari sistem yang memberikan ruang bagi semua putra daerah untuk berkembang, perluh ada alternatif.

Rekomendasi MRP
Menarik mengamati usulan publik dicatat Frans Pigome telah mendapat rekomendasi resmi dari Majelis Rakyat Papua (MRP) enam provinsi di Tanah Papua. Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar karena dilakukan tanpa proses dengar pendapat, tanpa konsult publik, dan tanpa melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan langsung seperti pekerja lokal, serikat buruh tambang, tokoh adat, maupun akademisi.

Padahal, MRP dibentuk dengan semangat otonomi khusus, untuk menyalurkan aspirasi rakyat Papua secara terbuka dan kolektif. Ketika lembaga ini mengeluarkan rekomendasi sepihak, wajar jika muncul kecurigaan bahwa proses tersebut sarat kepentingan politik tertentu.

Tetapi rekomendasi tersebut sudah mewakili kepentingan public Papua dan tidak di anggap cacat.

Nasib Pekerja Papua Masih Menggantung
Sementara publik sibuk membicarakan siapa yang akan memimpin Freeport, nasib ribuan pekerja Papua masih tidak jelas. Banyak di antara mereka dirumahkan atau terkena PHK akibat restrukturisasi perusahaan beberapa tahun terakhir. Persoalan kesejahteraan, keamanan kerja, dan pemberdayaan tenaga lokal masih jauh dari ideal.

Pertanyaannya, apakah dengan Frans Pigome menjadi Presiden Direktur, masalah-masalah tersebut akan otomatis selesai? Jika akar persoalan sesungguhnya terletak pada tata kelola perusahaan dan hubungan pemerintah dengan korporasi, maka pergantian figur tak akan membawa perubahan berarti. Keadilan bagi pekerja Papua tidak bisa dijawab oleh simbol, tetapi oleh kebijakan nyata, tetapi sosok Frans Pigome lebih paham masalah karena sudah terproses secara matang.

Dugaan Operasi Politik dan Jalur Masuk Investasi Tiongkok
Banyak kalangan masyarakat sipil menduga bahwa isu Frans Pigome ini bagian dari operasi negara untuk mengamankan arah kebijakan ekonomi Freeport. Isu tersebut muncul seiring dengan rencana besar pemerintah membuka peluang bagi investor asing, khususnya dari Tiongkok, untuk terlibat dalam proyek pengelolaan tailing dan hilirisasi tambang.

Frans Pigome dipandang sebagai figur kompromi yang “aman”, putra Papua yang bisa diterima secara sosial, sekaligus tokoh yang dapat menjembatani kepentingan politik nasional dan kepentingan modal luar. Dengan menempatkan figur lokal di posisi strategis, resistensi sosial di Papua bisa ditekan, sementara arus investasi tetap berjalan mulus.

Dugaan ini tentu membutuhkan klarifikasi lebih lanjut. Namun pola narasi publik yang terbentuk dari kampanye digital, dukungan lembaga politik, hingga opini elite menunjukkan bahwa isu Frans Pigome bukan sekadar soal representasi daerah. Ini bagian dari operasi yang lebih besar untuk memastikan stabilitas politik dan keamanan investasi di kawasan tambang terbesar di Indonesia.

Antara Representasi dan Manipulasi
Jika benar demikian, maka isu Frans Pigome sejatinya memperlihatkan paradoks lama Papua, rakyat dijadikan simbol perjuangan, tetapi hasil perjuangan tetap dinikmati oleh kekuatan di luar dari mereka. Di satu sisi, nama Frns Pigome diangkat sebagai simbol kebanggaan local, di sisi lain, penunjukannya bahwa bisa menjadi alat legitimasi politik bagi agenda ekonomi global.

Akan tetapi publik menginginkan kejelas kesejhteraan pemilik ulayat selama ini maka dukungan itu mengalir dan public mengharapkan kesejahtraan dan keadilan.

Dengan demikian, masyarakat perlu waspada agar representasi Papua tidak berubah menjadi manipulasi sematan, karena Papua selalu seksi dan banyak kelompok yang berkepnetingan bias saja memanipulasi kepentingan posisi tersebut. Kedaulatan ekonomi tidak cukup diwujudkan dengan “wajah lokal” di kursi kepemimpinan, tetapi dengan perubahan sistem tata kelola yang menjamin transparansi, partisipasi publik, dan keadilan distribusi hasil tambang.

Membangun Tata Kelola Freeport yang Benar
Freeport adalah simbol kompleks hubungan negara, modal, dan rakyat Papua. Dalam situasi seperti ini, jalan terbaik adalah menegakkan prinsip manajemen Freeport harus lebih baik. Pemerintah pusat dan daerah harus memastikan bahwa semua keputusan strategis, termasuk penunjukan pucuk pimpinan, dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan dengan partisipasi masyarakat Papua sebagai pemilik ulayat.

Rakyat Papua berhak mengetahui arah pengelolaan sumber daya di tanah mereka. Mereka juga berhak menuntut agar hasil tambang tidak hanya memperkaya elite politik dan korporasi, tetapi benar-benar mengalir untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Papua tidak butuh simbol baru. Papua butuh sistem yang berpihak. Bukan sekadar Frans Pigome di kursi direktur, tetapi kebijakan yang memastikan setiap anak Papua memiliki masa depan di atas tanahnya sendiri dan sudah saatnya.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here