Oleh : Asyari Usman
Tak lama lagi, Pansus Hak Angket KPK akan membentur tembok opini rakyat. Hampir pasti mereka akan babak belur. Fahri Hamzah, yang menggagas Pansus itu, melakukan miskalulasi yang fatal. Acara “temu ramah” Pansus dengan para terpidana kasus korupsi yang dikurung di penjara Sukamiskin, Bandung, merupakan titik-balik gelombang besar yang akan menenggelamkan Pansus.
Pansus mengatakan mereka hanya melaksanakan fungsi pengawasan kinerja KPK. Tetapi, para anggota Pansus sangat konyol sampai menjumpai para koruptor. Apa pun alasannya, misi Pansus untuk mencari kesalahan KPK melalui mulut para koruptor, akan dilihat sebagai pernyataan simpati Pansus kepada para koruptor. Misi semacam ini pasti akan terlindas oleh opini masyakarat yang mengatakan bahwa DPR-lah yang selama ini banyak bermasalah.
Pansus lupa bahwa kedatangan mereka untuk mencari-cari kesalahan KPK itu dibayangi oleh skandal e-KTP yang menyeret nama-nama besar anggota DPR, termasuk Setya Novanto, Yasonna Laoly (PDIP, yang sekarang duduk sebagai Menkumham), Ganjar Pranowo (PDIP, yang sekarang menjadi gubernur Jawa Tengah), dan Olly Dondokambey (PDIP, yang saat ini menjabat sebagai gubernur Sulawesi Utara).
Pansus, atau Fahri Hamzah, lupa bahwa keempat orang ini sedang berkeliling menjajakan kebusukan orang-orang di DPR. Justru yang menjadi “terdakwa” saat ini adalah DPR. Bukan KPK. Mereka ingin mendudukan lembaga musuh korupsi ini sebagai tertuduh. Pansus tidak akan berhasil.
Sampai saat ini KPK masih menikmati dukungan publik yang sangat kuat. KPK berlindung di balik benteng opini positif yang mengakar sangat kuat di masyarakat. Semua ini tentu disebabkan oleh misi KPK yang dipersepsikan 100 persen prorakyat.
Pansus mencoba menghembuskan tudingan bahwa para pemegang mandat KPK melakukan berbagai penyimpangan penggunaan angaran dan wewenang. Pansus berusaha membangun opini bahwa para koruptor yang kini mendekam di penjara, banyak diantaranya yang menjadi korban kesewenangan KPK. Korban kedzoliman KPK.
Taktik ini mungkin bisa berhasil kalau DPR bersih. Bagaimana mungkin rakyat percaya pada Pansus sementara berbagai skandal korupsi sangat jelas melibatkan para wakil rakyat. Termasuklah yang sedang marak sekarang ini: skandal suap e-KTP.
Ketua DPR, Setya Novanto, disebut-sebut menerima dana e-KTP bersama dengan sejumlah politisi senior PDIP. Nama-nama besar ini muncul dalam persidangan terdakwa utama e-KTP, Irman dan Sugiharto (dua pejabat tinggi Kemendagri).
Novanto sempat dicekal pergi ke luar negeri atas permintaan KPK. Ini sangat memalukan bagi ketua DPR itu.
Sekarang, modus Pansus Angket KPK gampang disingkap. *Lihat saja ketua Pansus adalah kader Golkar, anak asuh Novanto. Tengok juga Masinton Pasaribu, anggota Pansus. Dia adalah kader PDIP. Hari-hari ini dia sangat vokal menyuarakan misi Pansus yang disebutnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja KPK.*
*Sangat mudah dimengerti bahwa Masinton sedang berusaha mengertak KPK agar tidak menlanjutkan kasus e-KTP yang melibatkan kolega separtainya sendiri.*
Kalaupun KPK telah melakukan kesalahan adminitratif, maka sesungguhnya para anggota DPR seharusnya berkaca untuk melihat seberapa banyak pula kesalahan mereka. Seberapa banyak pula kesalahan-kesalahan yang terjadi di lembaga-lembaga negara lainnya. Kesalahan di KPK yang terkait penggunaan anggaran dikatakan hanya sekitar 600 juta rupiah.
Kita setuju bahwa KPK pun harus mengikuti prosedur adminitrasi dan legalitas yang berlaku untuk semua lembaga negara. Tetapi, kekeliruan skala kecil yang ditemukan sejauh ini, tidak perlu sampai direspon dengan Pansus Hak Angket.
Kita semua ingin memastikan bahwa KPK pun akan melakukan instrospeksi agar mereka benar-benar menjadi “sapu yang bersih” untuk melaksanan tugas pembersihan.
*Penulis adalah mantan wartawan BBC. Tetapi, tulisan ini tidak terkait dengan BBC