Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan inisiatif dan komitmen Kementerian ESDM soal Perubahan Iklim. Terkait bauran energi, khususnya di sektor pembangkit listrik. Saat ini porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi pembangkit listrik lebih dari 12%. Targetnya di tahun 2025 sebesar 23%.
“Saya ulangi di tahun 2025 target renewable energy khususnya energy mix pembangkit sebesar 23% meningkat dari sekarang yang sebesar 12 persen lebih itu,” ungkap Jonan pada acara Festival Perubahan Iklim 2018 yang digelar di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta, Selasa (16/1).
Jonan meyakini bahwa hal tersebut bisa dilakukan dalam 8 tahun kedepan terutama pembangunan pembangkit listrik.
“Pertama, listrik dari tenaga air atau hidro. Tahun lalu saja yang komitmen sekitar 1.000 MW. Kita lihat ke depan, bisa tidak bertambah 1.000 MW dari PLTA, jawabannya bisa,” tegasnya.
Ia menuturkan bahwa tarif pembangkit tersebut juga harus kompetitif, misalnya ada yang dibangun di Jawa kapasitas hanya 0,86 MW, tarifnya pun bisa sudah kompetitif.
Yang kedua, lanjutnya, panas bumi, potensinya besar sekali, menurut studi kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Saat ini kapasitas terpasang panas bumi Indonesia sekitar 1,8 GW. Diantaranya, PLTP Sarulla sudah on stream 220 MW dari 2 unit.
“Bulan Maret 2018 unit-3 akan onstream lagi jadi totalnya 330 MW, nanti diresmikan Bapak Presiden. Mungkin 8 tahun kedepan lebih dari 3.000 MW lagi juga bisa dilakukan,” ungkap Jonan.
Selanjutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Harga (PLTS) dan teknologinya makin lama makin kompetitif.
“Approach pertama, kita berikan ke swasta untuk mengembangkan PLTS di lokasi yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu kita juga mendorong pemasangan di tempat tempat umum seperti bandara, terminal, ke depannya rumah tangga juga,” papar Jonan
Pendekatan yang lain untuk PLTS ini, dijelaskan Jonan, adalah pemberian Lampu Listrik Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Untuk tahun 2018 ini direncanakan pembagian LTSHE menjadi 175.782 rumah di 15 provinsi.
“Dengan LTSHE ini, kita bisa menerangi 2.500 desa yang memang tidak ada listrik sama sekali, kita pasang Independent Solar System, dilengkapi dengan 4 lampu serta colokan HP, untuk harga per rumah kira kira 2 juta, biayanya murah,” ujar Jonan.
Jonan menjelaskan, upaya-upaya tersebut diatas dilakukan dalam rangka meningkatkan rasio elektrifikasi, yang pada Desember 2017 telah mencapai 94,91%, atau di atas target (92,7%).
“Untuk tahun 2019, diusahakan mencapai 99,9% diatas target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar 97%. Jadi ini penting sekali untuk pembangunan yang berkeadilan,” tegasnya.
Selain pengembangan pembangkit listrik dari energi baru terbarukan, Kementerian ESDM juga telah melakukan upaya efisiensi energi primer untuk mendukung pengendalian perubahan iklim. Misalnya, kebijakan bagi daerah yang mempunyai sumur gas agar jika dilakukan pembangunan pembangkit listrik dilakukan di wellhead gas tersebut sehingga dapat menggunakan pipa dan mengurangi dampak emisi akibat transportasi.
Demikian halnya untuk daerah yang punya sumber daya batubara seperti Kalimantan dan Sumatera, pembangunan PLTU pun harus di mulut tambang. Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, harga listriknya pun lebih murah dan mengurangi dampak emisi akibat transportasi.
Pengembangan kendaraan listrik juga menjadi salah satu upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
“Presiden meminta penggunaan kendaraan listrik lebih banyak dengan mendukung kendaraan listrik agar emisi di jalan akan rendah,” tutup Jonan.
Sebagaimana diketahui, komitmen Indonesia terhadap dampak perubahan iklim tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Paris Agreement, dengan target mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% pada tahun 2030 (tanpa bantuan asing). Di sektor energi sendiri, komitmen untuk mendukung target tersebut diwujudkan dengan menurunkan emisi GRK sebesar 314 – 398 juta ton CO2 pada tahun 2030. Kementerian ESDM juga mendukung upaya untuk terus mengedepankan masalah pengelolaan lingkungan dalam penyediaan energi dan kegiatan pertambangan. (EA)