Home Nasional Intan Jaya Dalam Kobaran Api: Krisis Kemanusiaan Papua Memburuk, Seruan Mendesak untuk...

Intan Jaya Dalam Kobaran Api: Krisis Kemanusiaan Papua Memburuk, Seruan Mendesak untuk Jeda Kemanusiaan dan Dialog Inklusif

66
0
SHARE

Oleh: Arkilaus Baho | 26 Oktober 2025
Aktivis ekonomi-politik dan penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP)


Intan Jaya, Papua — Luka yang Tak Kunjung Sembuh

Jamaninfo.com, Opini – Kabupaten Intan Jaya, Papua, kembali menjadi sorotan tajam publik setelah laporan terbaru menunjukkan memburuknya krisis kemanusiaan yang berlangsung selama lebih dari lima tahun. Sejak akhir 2019, konflik bersenjata antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok separatis Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terus memakan korban — terutama dari kalangan warga sipil tak berdosa.

Studi berjudul “Intan Jaya dalam Kobaran Api: Kronologi Konflik, Duka Warga Sipil, dan Upaya Penanganan yang Belum Usai” yang disusun oleh aktivis Arkilaus Baho mengungkapkan bahwa hingga Oktober 2025, situasi di Intan Jaya belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ribuan orang telah kehilangan nyawa, tempat tinggal, dan akses terhadap layanan dasar akibat konflik berkepanjangan ini.


Akar Konflik: Dari Tragedi Sugapa hingga Impunitas yang Mengakar

Konflik di Intan Jaya memuncak sejak pembunuhan tiga pengemudi ojek di Distrik Sugapa pada akhir 2019. Peristiwa itu menjadi pemicu spiral kekerasan yang tak terkendali.

Tahun 2020, pembunuhan tragis terhadap Pendeta Yeremia Zanambani mengguncang hati masyarakat Papua dan nasional. Hingga kini, keadilan bagi sang pendeta belum ditegakkan, memperlihatkan impunitas yang menggerogoti sistem hukum di daerah konflik.

Laporan Human Rights Monitor (HRM) mencatat sedikitnya 60 eksekusi di luar hukum terhadap orang asli Papua antara Februari 2020 hingga Juni 2024. Pemerintah merespons dengan memperkuat kehadiran militer dan menetapkan TPNPB sebagai organisasi teroris pada April 2021, namun kebijakan itu justru memperparah eskalasi kekerasan.


Operasi “Bumi Hangus” dan Gelombang Pengungsian

Puncak kekerasan terjadi sepanjang 2022–2023 melalui operasi militer besar-besaran yang oleh HRM didokumentasikan dalam laporan berjudul “Bumi Hangus”.
Sedikitnya 28 rumah warga sipil dibakar, empat warga dieksekusi tanpa pengadilan, dan tiga lainnya—termasuk dua anak—mengalami luka-luka.

Lebih dari 3.000 warga asli Papua terpaksa mengungsi ke hutan dan kabupaten lain, hidup tanpa makanan cukup, layanan kesehatan, maupun akses pendidikan. HRM menduga pola serangan ini termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.


Siklus Kekerasan Tak Berhenti di 2024–2025

Awal 2024, bentrokan bersenjata kembali pecah dan menelan korban jiwa warga sipil, termasuk Yusak Sondegau dan dua anak kecil. Gelombang pengungsian baru pun tak terhindarkan.

Laporan ACAPS (Oktober 2024) memperkirakan jumlah pengungsi internal di seluruh Papua mencapai 80.000 orang, dengan Intan Jaya sebagai penyumbang terbesar. Kondisi para pengungsi memprihatinkan: kelaparan, penyakit, dan putusnya akses pendidikan.

Situasi memuncak lagi pada pertengahan Oktober 2025, ketika operasi TNI di Kampung Soanggama menewaskan puluhan orang. TNI mengklaim 14 anggota OPM tewas, namun Komnas HAM dan Tim Mediasi Konflik Papua mengonfirmasi adanya korban sipil, termasuk seorang ibu rumah tangga.
Anggota DPR RI asal Papua, Thobias Bagubau, menegaskan,

“Sampai kapan rakyat harus terus menjadi korban?”


Penanganan Belum Menyentuh Akar Masalah

Dalam laporannya, Arkilaus Baho menyoroti lemahnya koordinasi dan pendekatan keamanan yang terlalu dominan tanpa menyentuh akar persoalan politik dan sosial. Pemerintah pusat hingga kabupaten dinilai hanya memberikan respon reaktif dan parsial, bukan solusi berkelanjutan.

Selain itu, pembatasan akses bagi media dan lembaga kemanusiaan membuat situasi di lapangan sulit diverifikasi dan menghambat akuntabilitas publik.

Bupati Intan Jaya, Aner Maisini, menyerukan agar kebijakan keamanan dilakukan secara lebih humanis dan berkeadilan, serta melibatkan pemerintah daerah.

“Kami butuh kebijakan yang berpihak pada manusia, bukan hanya strategi perang,” tegasnya.

Mahasiswa Intan Jaya di Timika pun menyuarakan hal senada, mendesak pemerintah pusat untuk tidak bungkam terhadap penderitaan rakyatnya sendiri.


Jalan Menuju Perdamaian: Seruan untuk Jeda dan Dialog

Arkilaus Baho menekankan empat langkah mendesak agar Papua, khususnya Intan Jaya, tidak terus menjadi “tanah air dalam api”:

  1. Jeda Kemanusiaan (Humanitarian Pause): Semua pihak harus sepakat untuk menghentikan serangan sementara agar bantuan kemanusiaan bisa menjangkau korban di seluruh wilayah.
  2. Akses Terbuka: Pemerintah perlu membuka akses bagi media, lembaga HAM, dan organisasi kemanusiaan untuk menciptakan transparansi dan kepercayaan publik.
  3. Dialog Inklusif Tanpa Syarat: Diperlukan dialog antara pemerintah, tokoh adat, gereja, dan perwakilan kelompok pro-kemerdekaan, difasilitasi pihak netral.
  4. Akhiri Impunitas: Lakukan penyelidikan independen dan adil atas seluruh pelanggaran HAM berat, agar keadilan dapat ditegakkan bagi para korban.

Menyalakan Harapan di Tengah Api

Tanpa perubahan paradigma yang berani dan inklusif, Intan Jaya akan terus terbakar — bukan hanya secara fisik, tetapi juga dalam batin generasi mudanya.
Arkilaus Baho menutup laporannya dengan pesan kuat:

“Tanpa keadilan, perdamaian di Papua hanya akan menjadi mimpi yang terbakar bersama rumah-rumah warga.”

(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here