Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akhirnya berhasil mengungkap kebohongan yang dilakukan oleh Juru Kampanye Nasional (Jurkamnas) Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Ratna Sarumpaet (RS).
Sebagaimana diketahui oleh publik bahwa RS mengaku dirinya mengalami penganiayaan di Bandara Bandung, Jawa Barat, Selasa (2/10). Namun, sehari setelahnya, Rabu (3/10), setelah Polri membeberkan fakta yang sebenarnya, RS mengaku bahwa dirinya tidak mengalami penganiayaan tersebut dan sengaja menyebarkan kabar bohong.
Berkaitan dengan hal itu, Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) meminta kepada Polri untuk memberikan sanksi kepada RS lantaran dengan sengaja membuat dan menyebarkan kabar bohong kepada publik.
Pasalnya, dengan kabar hoax yang disebarkan tersebut telah menyebabkan kegadungan yang mengancam ketertiban nasional.
“Para penyebar berita bohong ini mestilah mendapatkan sanksi yang serius karena telah menganggu ketertiban nasional dalam berbangsa dan bernegara,” ungkap Ketua Bidang Politik dan Hukum Dewan Pimpinan Pusat JAMAN, Edwar Antoni, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (5/10).
Edwar menjelaskan, RS sudah seharusnya mendapatkan sanksi pidana karena telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan melanggar UU Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE karena telah membuat kabar bohong kepada publik.
“Negara juga mesti memberikan hukum sosial dan moral kepada pelaku, misalnya larangan mengunakan medsos selamanya atau tidak mendapatkan pelayan publik,” jelasnya.
Ia menambahkan, sanksi sosial itu merupakan solusi yang tepat lantaran RS sudah meresahkan pengguna media sosial lain dengan kabar bohong itu. Menurutnya, hal ini adalah persekongkolan jahat dalam upaya untuk menggiring opini publik untuk menyalahkan Pemerintah.
“Sanksi sosial dan moral ini amat penting karena terbukti dengan yurisprudensi beberapa kejadian seperti kasus Ahok, persekusi yang akhir-akhir ini marak dan yang paling besar adalah kasus persengkongkolan jahat RS yang di-support para elit politik dan pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi,” papar Edwar.
Edwar menegaskan, kalau negara tidak memberikan sanksi yang tegas atas penyalahgunaan media sosial yang dilakukan RS, maka hal itu akan memicu kerusuhan sosial karena telah melakukan pembiaran pertikaian dan kebohongan publik di dunia maya.
“Hal ini dapat kita rasakan saat ini. Bagaimana massifnya berita Hoak dan tidak adanya efek jera para peyebar hoax menyebarkan konten-konten tersebut. karena itu menurut Kami, hal ini harus dibendung dan diantisipasi dengan komitmen dan kerjasama provider, Kemenkominfo dan lembaga lainnya. misalkan menayangkan iklan prabayar yang menyebutkan peringatan hati-hati kepada penguna medsos kepada para Hoakers yang tertangkap. dan iklan tersebut beserta foto dan profil pelanggar ” terang Edwar.
selain itu, lanjut Edwar, sanksi moral dari seluruh rakyat Indonesia juga sangat penting. Karena hal itu dapat mengikis penyebaran kabar-kabar bohong di media sosial.
Ia juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang mendukung dan menggunakan kabar hoax sebagai senjata. “Ini berlaku dalam setiap kontestasi politik apapun, Pileg, Pilkada, maupun Pilpres. Karena mereka jelas-jelas bertentangan dengan falsafah negara dan agama,” tuturnya.
Edwar meminta kepada seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama menolak dan menghukum pemimpin yang menyebarkan kabar bohong.
“Selain sanksi sosial dan moral, kita sudah semestinya secara politik mengunakan hak kita untuk mengatakan tidak kepada para pembohong dan penipu untuk memimpin negara ini di segala kesempatan. Haram bagi kita kaum milenial, emak-emak dan rakyat memilih para pembohong dan penipu,” pungkasnya.
Reporter: Eko “Gajah”