Sebagai alumni mahasiswa pergerakan Ketua Umum Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) A. Iwan Dwi Laksono sudah dianggap menjadi bagian terpenting bagi Mahasiswa dan Mahasiswi untuk mendapatkan pengarahan dam pengetahuan terkait Nasionalisme Kebangsaan.
Iwan Dwi Laksono ditunjuk Sebagai pemateri Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus (KPK) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Unititra) Serang Banten yang di hadiri 3.500 Mahasiswa/i baru dari seluruh Indonesia, bersama pemateri lainnya yakni Najwa Shihab (Pembawa Acara MetroTV) Hadir dan Menteri Pemuda dan Olahraga RI Imam Nahrawi.
Masuk pada sesi awal materi Iwan Dwi Laksono memberikan pertanyaan kepada mahasiswa mahasiswi terkait sejarah Pahlawan Nasional Sultan Ageng Tirtayasa sesuai nama kampus Untitra itu sendiri.
Dari sekian banyak Mahasiswa/i baru hanya beberapa orang Mahasiswa/i yang berani memaparkan tentang sejarah singkat Sultan Ageng Tirtayasa. Dan hanya satu mahasiswa yang dalam menjawab pertanyaan lebih tepat.
Sejarah singkat Sultan Ageng Tirtayasa yani sultan berhasil membangun ekonomi rakyat Banten. Dengan membuka sawah, namun berselisihan dengan pihak VOC.
Maka ketika itu terjadilah perang antara Kesultanan Banten dengan VOC. Saat itu VOC dengan politik kotornya melakukan tindakan politik adu domba, dengan memanfaatkan anaknya Sultan Ageng Tirtayasa yaitu Sultan Haji dan Pangeran Purbaya.
Dimana Sultan Haji ketika itu terpedaya dan memerangi bapaknya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Terjadilah perang kemudian Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap oleh tentara Belanda dan ditahan.
Menurut Iwan Dwi Laksono dengan mengenal Pahlawan Nasional dari situlah Mahasiswa/i memupuk jiwa Nasionalisme dan meneruskan perjuangan para pahlawan untuk cita-cita kemerdekaan Indonesia. Yaitu Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur.
Lanjutnya Indonesia diprediksikan pada tahun 2045, dalam usia 100 tahun setelah kemerdekaan, akan menuju puncak keemasan sebagai sebuah negara. Bonus demografi diklaim menjadi salah satu indikator kemajuan tersebut. Hal ini berkaitan terjadinya pertumbuhan yang signifikan jumlah penduduk yang didominasi oleh usia produktif (15-60 tahun).
Namun, masa keemasan itu juga dapat menjadi bencana yang mematikan apabila tidak ditunjang oleh basis yang kuat. Disadari atau tidak, kekuatan itu bertumpu pada perkembangan kaum muda intelektual saat ini, yakni mahasiswa. Generasi yang menentukan tahun 2045 sebagai masa keemasan atau bahkan menjadi bencana kependudukan paling mematikan: dimana terdapat banyaknya pengangguran produktif, kriminalitas, dan kemiskinan.
Dengan tanggung jawab sebesar itu, mahasiswa saat ini dituntut untuk memiliki rasa cinta tanah air (nasionalisme) yang tinggi. Tidak mungkin mahasiswa apatis dan individualistik bersedia meluangkan waktunya untuk memikirkan masa depan bangsanya, apalagi bertindak.
Maka dari itu, menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk memupuk kembali rasa cinta tanah air dan kebangsaannya. Jangan sampai mahasiswa terjebak dalam alam pikir liberal yang memergunakan waktunya hanya untuk memuaskan hawa nafsunya belaka. Menganggap bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang telah usang dan ketinggalan zaman.
Memang, pandangan dan khayalan mahasiswa saat ini berbeda dengan mahasiswa dulu, terutama pada saat perebutan kemerdekaan. Media mahasiswa zaman dulu hanyalah mesin cetak yang bertumpu pada koran dan surat menyurat. Saat ini, dengan perkembangan seluler dan internet, mempengaruhi pemikiran dan pandangan mahasiswa terhadap dunia, termasuk soal bangsanya.
Nasionalisme Kita Saat Ini kata dia, yaitu Nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang hanya bangga dengan satu identitas kebangsaan tertentu, suku, agama, ras dan golongan tertentu. Berbeda 180 derajat, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berdiri di atas kemanusiaan.
Pendiri bangsa, Bung Karno, telah merumuskan gagasan mengenai nasionalisme sejak ia masih muda. Dalam artikel yang dia tulis pada tahun 1932 yang berjudul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, Beliau sudah menjelaskan tentang bagaimana seharusnya nasionalisme bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia bertujuan untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang chauvinistik.
Nasionalisme Indonesia dibangun untuk tujuan bersama, dan masa depan bersama. Imajinasi tentang tujuan bersama dan masa depan bersama tersebut mampu membakar semangat mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bangsa, dan agama mengikrarkan rasa kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa, yakni Indonesia.
Nasionalisme Indonesia juga dibangun atas persamaan nasib yang dialami oleh bangsa Indonesia, yakni sama-sama tertindas oleh kolonialisme. Hal inilah yang membentuk rasa persatuan antar bangsa. Tujuan dan orientasi bersamanya adalah menuju bangsa yang merdeka.
Belakangan ini, nasionalisme bangsa Indonesia kembali diuji. Muncul anggapan bahwa satu golongan tertentu memiliki hak yang besar untuk menentukan nasib bangsa ini. Hal ini tentu menyesakkan dada.
Bagaimana tidak? Negara Indonesia dibangun susah payah oleh para pendiri bangsa di atas dasar nasionalisme, di atas dasar semua untuk semua, bukan semua untuk satu. Sebagaimana cita-cita kemerdekaan, bahwa cita-cita besar bangsa Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur.(Tom/Red)