Jamaninfo.com, Jakarta –
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Simpul JATAM Maluku Utara merilis laporan investigatif berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, yang menyoroti keterkaitan antara kekuasaan politik dan bisnis ekstraktif di lingkaran keluarga Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda.
Laporan ini mengungkap konsentrasi kekuasaan dan kepemilikan bisnis tambang yang diduga beririsan langsung dengan jabatan politik Sherly. Ia tidak hanya berperan sebagai pejabat publik, tetapi juga tercatat aktif sebagai pebisnis tambang yang mengendalikan sejumlah perusahaan di sektor nikel, emas, dan pasir besi di Maluku Utara.
Jejaring Bisnis Keluarga yang Menggurita
Temuan JATAM menunjukkan bahwa sebelum dan setelah menduduki posisi gubernur, Sherly Tjoanda bersama keluarganya menguasai jaringan perusahaan yang terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam. Beberapa entitas utama yang disebut dalam laporan tersebut meliputi:
PT Karya Wijaya (tambang nikel di Pulau Gebe dan Halmahera)
PT Bela Sarana Permai (pasir besi di Pulau Obi)
PT Amazing Tabara (tambang emas)
PT Indonesia Mas Mulia (emas dan tembaga di Halmahera Selatan)
PT Bela Kencana (tambang nikel)
Seluruh entitas tersebut berada di bawah kelompok besar Bela Group, yang merupakan konglomerasi keluarga Laos–Tjoanda.
Pada akhir 2024, kepemilikan mayoritas PT Karya Wijaya mengalami pergeseran besar setelah wafatnya Benny Laos — suami Sherly. Kini, Sherly menjadi pemegang saham terbesar dengan 71% kepemilikan, sementara tiga anaknya masing-masing memiliki 8%. Sherly juga menjabat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5% di PT Bela Group, mempertegas posisi dominannya dalam jaringan bisnis keluarga.
Konsesi Luas dan Momentum Politik
Perusahaan-perusahaan di bawah kendali keluarga Tjoanda memiliki sebaran wilayah operasi yang luas di Maluku Utara.
PT Karya Wijaya menguasai dua konsesi nikel: 500 hektare di Pulau Gebe (izin 2020) dan 1.145 hektare di Halmahera (izin Januari 2025), bertepatan dengan masa pencalonan Sherly sebagai gubernur.
PT Indonesia Mas Mulia memiliki izin tambang emas dan tembaga seluas 4.800 hektare di Halmahera Selatan.
PT Bela Sarana Permai beroperasi di sektor pasir besi dengan area konsesi mencapai 4.290 hektare di Pulau Obi.
JATAM menyoroti bahwa pembaruan dan penerbitan izin tambang, terutama di PT Karya Wijaya, kerap terjadi dalam masa-masa transisi politik seperti menjelang pilkada. Beberapa izin bahkan tercatat masuk ke sistem MODI tanpa proses lelang resmi, tanpa kelengkapan izin PPKH, serta tanpa jaminan reklamasi pasca-tambang.
Dampak Sosial dan Ekologis yang Parah
Di balik narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang sering diklaim oleh pemerintah daerah, JATAM menegaskan bahwa masyarakat akar rumput justru menanggung dampak buruk industri ekstraktif.
Kasus-kasus kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga di Maba Sangaji (Halmahera Timur), serta penolakan tambang oleh masyarakat di Pulau Obi dan Halmahera, menjadi bukti nyata dari krisis sosial-ekologis yang diabaikan.
Selain itu, operasi tambang keluarga Laos–Tjoanda disebut telah menimbulkan:
Deforestasi luas di Pulau Obi,
Pencemaran air dan krisis air bersih di Halmahera Selatan,
Konflik lahan di Pulau Gebe akibat tumpang tindih klaim konsesi.
JATAM menilai lemahnya pengawasan terhadap operasi perusahaan yang berafiliasi dengan kepala daerah memungkinkan pelanggaran regulasi serta berpotensi mengakibatkan kerugian penerimaan negara.
Konflik Kepentingan dan Pelanggaran Etika Publik
Dari sisi tata kelola pemerintahan, laporan ini menyoroti potensi pelanggaran serius terhadap prinsip good governance. Rangkap jabatan dan kepemilikan saham oleh kepala daerah dalam perusahaan swasta secara langsung bertentangan dengan:
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, serta
Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai konflik kepentingan pejabat publik.
JATAM menegaskan bahwa praktik semacam ini bukan hanya melanggar norma hukum dan etika, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan menimbulkan preseden buruk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Seruan JATAM
JATAM dan JATAM Maluku Utara mendesak dilakukan investigasi independen terhadap jaringan bisnis keluarga Sherly Tjoanda, termasuk audit izin tambang dan kepemilikan saham pejabat publik di perusahaan ekstraktif. Mereka juga menyerukan transparansi penuh dalam pengelolaan sumber daya alam serta perlindungan hukum bagi warga yang menolak tambang.
“Kami melihat adanya konsentrasi kekuasaan dan ekonomi yang sangat berbahaya bagi demokrasi lokal. Rakyat yang menolak tambang dikriminalisasi, sementara elit politik menikmati hasil sumber daya,” ujar Melky Nahar, Koordinator JATAM.
Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara, menambahkan bahwa jaringan bisnis keluarga penguasa ini telah menciptakan “monopoli politik-ekonomi” di Maluku Utara yang perlu segera diakhiri.(*)
Akses Laporan Lengkap: Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara
Kontak Media:
Melky Nahar, Koordinator JATAM – 0813-1978-9181
Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara – 0821-9569-4271
Home Energi Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara: JATAM Ungkap Jaringan...






