Rizal Ramli (RR) adalah ekonom senior dengan karir yang amat panjang, baik sebagai aktivis, pengamat, maupun pejabat. Kurun 2000-2001, setidaknya ia menjabat Kepala Bulog, Menko Perekonomian, dan Menteri Keuangan.
Publik pun dimanja dengan analisis dan kritik yang keras, kerap pedas. Hal yang sah dalam demokrasi, bahkan penting sebagai alat kontrol terhadap kebijakan Pemerintah.
Namun, peluru kritik yang dilontarkan secara serampangan, dengan sasaran tembak yang terlalu personal, membabi buta, dan tidak didukung data dan informasi yang memadai–mengandung bahaya bagi publik. Alih-alih diajak berpikir jernih dan kritis, ketakmemadaian informasi dapat membengkokkan kebenaran.
Sebagai bentuk tanggung jawab intelektual, kami merasa perlu menguji dan meluruskan beberapa tudingan, klaim, dan argumen Rizal Ramli, dan menyajikan bantahan dan kontra-argumen bagi publik. Penilaian diserahkan kepada publik, semoga tercipta diskursus yang rasional dan sehat.
Sebagaimana “bullshit asymmetry principle” yang berbunyi “the amount of energy necessary to refute bullshit is an order of magnutite bigger than to produce it”, inilah proyek yang oleh simbah saya dinamai “ngilo githoke dhewe….!”
Impor Beras
RR:
Beras dua tahun stabil tanpa impor pada saat menjadi Kepala Bulog dan Menko Perekonomian hanya dengan perbaikan stock management.
Fakta:
Data BPS menunjukkan sejak 2001-2004, Pemerintah tetap melakukan impor beras. Bahkan terjadi kenaikan impor beras pada tahun 2002 sekitar 170% dan pada tahun 2003 sekitar 120% jika dibandingkan dengan tahun 2001. Berturut-turut tercatat impor beras pada 2001 sebesar 650 ribu ton, 2002 1,8 juta ton, 2003 sebesar 1,4 juta ton, dan 2004 turun drastis menjadi hanya 246 ribu ton.
Jika stabilitas persediaan beras disebabkan stock management yang baik dan bukan karena faktor lainnya, seharusnya hal ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Fakta bahwa tahun 2001-2004 tetap terjadi impor beras, bahkan dalam jumlah yang cukup tinggi, menunjukkan bahwa perbaikan stock management tidak lebih dari klaim belaka. Bukankah jika disimpulkan terbalik, periode 2004 manajemen justru jauh lebih baik?
Pengelolaan Utang Ugal-ugalan
RR:
Utang Dikelola secara ugal-ugalan dan tidak prudent, utang sudah lampu kuning karena “gali lubang tutup jurang”.
Fakta:
Utang pemerintah adalah keputusan politik antara Presiden dan DPR, dan dituangkan dalam UU APBN. Dalam tiga tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, manajemen utang memperlihatkan kondisi yang semakin baik, ditandai dengan dua hal yaitu di mana beban bunga menunjukkan tren yang menurun sementara risiko portofolio utang membaik dan terkendali.
Ukurannya rasio pembayaran bunga utang terhadap jumlah utang rata-rata yang semakin menurun, dari 5,1% pada tahun 2014 menjadi 4,7% pada akhir tahun 2016. Imbal hasil atau yields surat berharga negara menurun secara signifikan. Kondisi ini lebih baik dibandingkan negara-negara peers dengan peringkat kredit yang setara, seperti Brazil, Mexico, Turki, dan Mesir. Meskipun terdapat peningkatan jumlah utang, hal ini diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara peers, sehingga Pemerintah mampu menjaga level rasio utang terhadap PDB di bawah 30%, jauh di bawah batas level aman yang ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang Keuangan Negara sebesar 60%.
Lebih dari itu, meski nominal utang meningkat (naik 166,3%), perbandingan yang fair antara kurun 2012-2014 dan 2015-2017 menunjukkan alokasi belanja APBN yang semakin baik: infrastruktur naik 198,3%, pendidikan naik 118,7%, kesehatan naik 170,6%, perlindungan sosial naik 848,7%, dan DAK fisik dan dana desa naik 356,5%.
Lalu yang ugal-ugalan itu pengelola atau komentatornya?
Pengukuran Utang dengan DSR
RR:
Utang seharusnya tidak hanya diukur dengan membandingkan utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), tetapi juga terhadap kemampuan membayar. Maka Debt to Service Ratio (DSR) atau perbandingan utang terhadap penerimaan ekspor perlu dijadikan ukuran. Ambang batas yang diperbolehkan itu 20% dari PDB.
Fakta:
Tidak ditemukan UU atau literatur dan standar internasional yang menyebutkan bahwa ambang batas DSR aman bagi utang luar negeri adalah 20%. Yang ada UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara membatasi jumlah utang maksimal 60% dari PDB. Rasio utang pemerintah terhadap PDB tahun 2017 sebesar 28,98%, naik dibanding 2014 24,68%, tapi masih terjaga dan lebih baik dibanding kondisi 2000 (83,75%), 2001 (76,72%), dan 2004 (55,54%).
Penggunaan DSR juga kurang tepat jika porsi utang didominasi obligasi karena pembayaran utang akan meningkat pada saat jatuh tempo, sehingga justru tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Jika DSR akan digunakan, data menunjukkan DSR Indonesia pada tahun 2001 (periode RR menjadi menteri) sebesar 34,22%, hampir sama dengan DSR 2017 sebesar 34,23%.
Jika ini pelanggaran aturan atau standar internasional, lalu siapa yang lebih dulu melanggar? Bukankah “menepuk air didulang, tepercik muka sendiri?”
Keseimbangan Primer APBN Memburuk
RR:
Keseimbangan primer (primary balance) negatif. “Artinya, sebagian bunga utang dibayar tidak dari pendapatan, melainkan utang baru.” Sampai April 2018, terjadi perbaikan primary balance, tapi tidak besar, hanya USD 1,7 miliar . (Susah memang ya fair dan mengapresiasi?)
Fakta:
Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Sejak 2011 keseimbangan primer kita sudah negatif, berturut-turut: 2012 (0,61%), 2013 (1,03%), 2014 (0,88%), 2015 (1,23%), 2016 (1%), dan 2017 (0,8%). Bukan upaya sekali jadi, tapi arah ke perbaikan semakin nyata.
Berdasarkan rilis data ‘APBN Kita’ 30 April 2018, underlying growth utang konsisten mengalami perbaikan dalam tiga tahun terakhir. Pertumbuhan keseimbangan primer per April 2018 naik 546,81% dari periode yang sama tahun lalu. Data menunjukkan keseimbangan primer April 2017 sebesar Rp 3,74 triliun, sedangkan April 2018 sebesar Rp 24,191 triliun. Ada perbaikan, berarti ada kehati-hatian dan bekerja di jalur yang tepat.
Susah memang ya, mengapresiasi pekerjaan dan pencapaian positif orang lain?
Bunga Obligasi RI yang Ketinggian
RR:
Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan terbaik di Dunia karena memberi bunga obligasi dua persen lebih mahal dari negara-negara tetangga, antara lain Filipina dan Vietnam. Tindakan ini menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 121 triliun dan USD 6,7 miliar.
Fakta:
Penentuan yield SUN dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain supply dan demand, sentimen pasar domestik maupun global, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan ekonomi makro dengan tahun-tahun sebelumnya yang cenderung tidak stabil. Pada masa awal di tahun 2003 sampai 2005, yield SUN tenor 10 tahun berkisar antara 6,5% – 10,4%, di mana jauh lebih rendah dibandingkan Filipina yang berkisar 9,5%-14%. Setelah periode tersebut, yield SUN mengalami tren menurun seiring dengan perbaikan perekonomian dan meningkatnya kepercayaan investor.
Kurun 2006-2010 merupakan masa-masa perbaikan pengelolaan fiskal dan penguatan fundamental perekonomian Indonesia. Jika dikaitkan dengan pasar obligasi Pemerintah, tingginya inflasi di Indonesia berdampak pada tingginya yield penerbitan SUN pada masa itu. Selama periode 2006-2010, bila dirata-ratakan inflasi Indonesia masih sebesar 7,9% sedangkan Filipina sebesar 4,9%, mengingat adanya peningkatan harga minyak dunia yang berdampak pada ekonomi Indonesia selaku net oil importer sejak 2004. Apabila inflasi tersebut kemudian dikurangkan terhadap rata-rata yield, maka real yield Indonesia dan Filipina berbeda sangat tipis yakni masing-masing 4,2% dan 3,9%.
Dengan memperhatikan kondisi inflasi dan volatilitas nilai tukar tersebut, mengingat inflasi Indonesia dan volatilitas nilai tukar Rupiah yang masih cukup tinggi serta mempertimbangkan credit rating Filipina yang satu notch lebih baik dari Indonesia saat itu, cukup wajar jika yield Indonesia masih di atas Filipina dan tidak mungkin untuk menekannya di bawah yield negara tersebut.
Namun, dengan keberhasilan pengelolaan ekonomi yang mempengaruhi penurunan tren inflasi Indonesia setelah periode tersebut, membawa dampak langsung terhadap makin menurunnya yield obligasi Pemerintah, di mana tahun 2016-2017 yield obligasi Indonesia, Filipina, dan Vietnam sudah hampir sama.
Revaluasi Aktiva Tetap
RR:
Pada saat menjadi Menko Kemaritiman, saya usulkan agar dilakukan revaluasi aset BUMN. Lalu direvaluasi dan ada kenaikan aset sebesar Rp 800 triliun, dengan penerimaan pajak sebesar 4%, yaitu Rp 32 Triliun. Itu sebagian saja, seharusnya semua BUMN melakukan revaluasi aset, sehingga asetnya akan naik 2.500 triliun dan pajaknya naik Rp 100 triliun.
Fakta:
Sejak awal, kebijakan ini digagas Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dan didukung penuh Menteri BUMN Rini Soemarno. Kebijakan revaluasi aktiva tetap tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015.
Kebijakan ini antara lain dimanfaatkan oleh 79 BUMN dari 118 BUMN. Pada tahun 2015, sebanyak 43 BUMN dan 19 anak perusahaan memanfaatkan kebijakan ini dan menghasilkan penerimaan pajak sebesar Rp 10,4 triliun.
Pada tahun 2016, sebanyak 17 perusahaan BUMN beserta anak usahanya juga memanfaatkan kebijakan ini dan memberikan penerimaan pajak sebesar Rp 6,8 Triliun, sehingga total penerimaan pajak dari BUMN akibat kebijakan ini adalah sebesar Rp 23,8 triliun, bukan Rp 32 triliun, karena tarifnya 3%, 4%, dan 6% tergantung periode keikutsertaan.
Terdapat lima BUMN yang tidak bisa melakukan revaluasi asset karena perusahaan-perusahaan tersebut sudah melakukan aksi korporasi tersebut dalam kurun lima tahun terakhir. Selain itu, beberapa BUMN tidak menjalankan revaluasi aset karena beberapa hal, yakni nilai keekonomiannya tidak signifikan bagi perusahaan, rasio utang terhadap ekuitas atau debt to equity ratio (DER) perusahaan belum cukup untuk melakukan ekspansi, aset BUMN yang diduduki pihak ketiga dan masalah administrasi tanpa sertifikat aset.
Terdapat banyak perusahaan swasta yang mengikuti program revaluasi aktiva tetap ini, meski kendala umum adalah likuiditas untuk membayar pajaknya. Membandingkan situasi dan kondisi saat revaluasi aktiva 2015 dan 2000-2001 jelas kurang tepat, apalagi mengklaim ide dan kebijakan orang lain sebagai miliknya.
Akhir kata, catatan ini baru menyajikan sebagian dari apa yang diklaim Rizal Ramli. Yang kami lakukan tidak lebih sekadar bertahan dengan sesekali melontarkan jab-jab kecil, belum pukulan telak yang mematikan. Ini bukan persoalan membela Jokowi atau Sri Mulyani, melainkan proyek membongkar mitos di hadapan nalar, supaya kebenaran tersingkap. Kami berusaha membantah dengan data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Semoga kejernihan budi dan kebeningan hati tetap melingkupi bangsa ini, sehingga kita tetap dapat berpikir rasional, kritis, dan proporsional. Kita amat yakin Indonesia akan menjadi negara maju jika tiap insannya bersedia berpikir positif, bahu-membahu, bekerja sama, bersinergi, jujur, tulus, dan tidak egois karena mampu melampaui cangkang kepentingan pribadinya.
Anda masih yakin Jokowi menjalankan APBN secara serampangan? Anda yakin Sri Mulyani perlu melayani debat dengan Rizal Ramli? Bukankah lebih baik memberi keleluasaan Presiden dan Menkeu bekerja menuntaskan karya demi kebaikan bangsa?
Bogor, 27 Mei 2018
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)