*Hari Nusantara
Jaman, Opini (13/12) – Salah satu peristiwa penting yang mengukuhkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah dengan menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, diantara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Pernyataan ini dikenal dengan “Deklarasi Djoeanda” dan dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia saat itu, Ir. Djoeanda Kartawidjaja.
Tanggal 10 Desember 1982, di Montego Bay, Jamaika, United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) ditandatangani oleh 117 negara dan dua lembaga non negara. Boleh dibilang, ini merupakan perjuangan panjang Indoensia sejak ditetapkannya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 menuju negara kepulauan/ kelautan yang diakui dunia. Artinya Deklarasi Djuanda diakui dunia sesuai Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982 yang menyatakan wilayah darat dan perairan Nusantara sebagai kesatuan yang utuh dan bulat.
Bertolak dari Deklarasi Djoeanda tersebut, maka pada tahun 1999 tepat tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai “Hari Nusantara”. Pada tanggal 11 Desember 2001, Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri, melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 126 Tahun 2001, menetapkan bahwa tanggal 13 Desember dinyatakan sebagai ”Hari Nusantara”. Sejak saat itu, setiap tanggal 13 Desember selalu diperingati sebagai Hari Nusantara.
33 tahun berlalu, UNCLOS sudah menjadi hukum internasional yang mengikat bagi setiap negara yang menandatanganinya, dan berarti di Indonesia sudah berlaku 30 tahun setelah diratifikasi. Berbagai manfaat, dilema, dan problematika terus menghinggapi aspek kelautan kita saat ini.
PROGRAM POROS MARITIM DUNIA
Dengan diakuinya NKRI sebagai negara satu kesatuan wilayah darat dan perairan melalui UNCLOS 1982 maka wilayah laut Indonesia menjadi alur perdagangan tersibuk di dunia atau sekitar 45 % cargo dunia melalui wilayah laut Indonesia dengan adanya Sloc, ALKI 1, ALKI2, dan ALKI3. Keberadaan Alur Laut Kepulauan Indonesia harus kita manfaatkan secara maksimal dengan menyediakan Kawasan Industri Maritim atau Kawasan Industri Khusus untuk melayani kebutuhan kapal-kapal besar dunia yang memanfaatkan ALKI tersebut. Pada Kawasan ini dibangun pelabuhan besar yang mampu menampung kapal container generasi V atau kapal cape size, juga ada fasilitas galangan besar termasuk industri komponen kapal dan fasilitas suply base untuk pembangunan offshore. Baca : Tiga Strategi Optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pada kebijakan ekonomi jilid VI. (Jurnal Maritim)
Akibat lain adalah wilayah NKRI menjadi 3 x luas wilayah sebelum Deklarasi Djuanda. Namun demikian dari dua kondisi tersebut di atas, kita belum dapat memanfaatkan secara optimal dan maximal. Hal ini terbukti bahwa saat ini wilayah laut Indonesia mempunyai dampak ekonomi hanya 15 % terhadap GDP. Sangat tidak imbang karena wilayah lautnya adalah 70% dari wilayah Indonesia.
Untuk menjadi Poros Maritim Dunia maka DPP Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) melalui Litbang Maritimnya mengusulkan 7 parameter keberhasilan visi Indonesia menjadi poros maritim dunia dengan kata lain visi tersebut tercapai apabila :
Pertama, Budaya Maritim sudah menjadi jiwa hidup rakyat Indonesia, parameternya 70 % GDP berasal dari laut.
Kedua, Indonesia menjadi eksportir hasil budidaya laut terbesar seluruh dunia.
Ketiga, Indonesia berdaulat atas Pangan Laut dan energi dari laut artinya tidak ada impor produk laut seperti garam dan lain-lain.
Keempat, Biaya Logistik murah, parameternya harga komoditas sama atau beda tipis di setiap daerah di Indonesia.
Kelima, Laut Indonesia aman dan nyaman menjadi pusat bisnis maritim dunia, parameternya tidak ada pencurian ikan, sabotase, perampokan, pembajakan, subversi, penyelundupan, narkotika, pembuangan limbah.
Keenam, Diplomasi Internasional telah diikrarkan bahwa ALKI 1, 2, 3, merupakan Alur Pelayaran International yang lebih besar dari terusan Suez, Terusan Panama maupun Gibraltar, termasuk dampak ekonominya.
Ketujuh, Ketujuh, Secara nominal finansial, pemerintah dapat memperoleh pendapatan per tahun dari sektor maritim sebesar Rp. 5.000,- triliun. Nilai ini hampir tiga kali dari RAPBN 2016 yang hanya sekitar Rp. 1.822 triliun (sudah dikoreksi menjadi Rp. 1.677,- triliun). Pendapatan tersebut meliputi Industri dan Jasa Maritim, Rp. 760,- triliun. Perikanan, Rp. 830,- triliun. Agro Maritim, Rp. 515,- triliun.Wisata bahari, Rp. 275,- triliun. Pertambangan laut, Rp. 1.150,- triliun. Transportasi Laut, Rp. 1.100,- triliun. Dan Pemanfaatan energi laut, Rp. 378,- triliun.
Apabila Visi Poros Maritim Dunia telah tercapai dengan realisasi 7 parameter tersebut, maka pada saat itulah kita dengan bangga dapat mendeklarasikan kepada dunia sebagai Deklarasi Djuanda II yang artinya Indonesia telah berdaulat secara politik, kemandirian ekonomi sekaligus menjamin keadilan melalui pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air lalu berkepribadian dalam budaya. (Red/Sis)