Home Opini Pegunungan Bintang di Persimpangan Takdir: Antara Gunung Emas, Konflik Abadi, dan Perjuangan...

Pegunungan Bintang di Persimpangan Takdir: Antara Gunung Emas, Konflik Abadi, dan Perjuangan Kemandirian Budaya di Tanah Papua

215
0
SHARE

Jamaninfo.com, Opini – Pegunungan Bintang – Papua Pegunungan.
Sebuah studi mendalam yang dilakukan oleh Arkilaus Baho, aktivis ekonomi-politik dan penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP), mengupas tuntas paradoks yang melanda Kabupaten Pegunungan Bintang—wilayah yang menyimpan kekayaan sumber daya alam luar biasa, namun bergulat dalam kemiskinan struktural, konflik bersenjata, dan krisis kemanusiaan.

Dalam dokumen berjudul “Pegunungan Bintang: Persimpangan Sumber Daya, Konflik, dan Kemandirian Budaya”, Baho menelusuri akar sejarah, potensi ekonomi, hingga dilema pembangunan yang dihadapi masyarakat adat di jantung Papua Pegunungan.



Jejak Sejarah dan Ketahanan Budaya yang Tak Tergoyahkan

Pegunungan Bintang merupakan rumah bagi suku-suku asli seperti Ngalum dan Kupel, yang selama ribuan tahun hidup harmonis dengan alam. Nilai-nilai adat seperti konsep Iwol (kedamaian dan kebersamaan) menjadi fondasi sosial yang kuat bagi masyarakatnya.

Meski pembentukan Provinsi Papua Pegunungan pada 2022 membawa harapan baru dalam tata kelola administratif, hal ini juga memunculkan pertanyaan mendalam: bagaimana nasib masyarakat adat di tengah arus modernisasi dan eksploitasi sumber daya?

Kedatangan misionaris pada pertengahan abad ke-20 dan integrasi Papua ke dalam NKRI membawa perubahan signifikan dalam aspek sosial dan ekonomi. Namun, masyarakat Pegunungan Bintang menunjukkan ketahanan luar biasa dengan cara mengadopsi unsur baru tanpa kehilangan inti identitas leluhur mereka.



Paradoks Demografi: Populasi Produktif, Namun Krisis Kesejahteraan

Secara demografis, Pegunungan Bintang memiliki potensi besar dengan 80,74% penduduk berusia produktif (15–59 tahun). Namun, potensi ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Data menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) wilayah ini menjadi yang terendah di Papua (40,91 pada 2019). Akses terhadap layanan dasar masih terbatas: air bersih hanya dinikmati oleh 0,03% populasi, sementara tingkat kemiskinan mencapai 29,66% (September 2024).

Akibat minimnya gizi dan layanan kesehatan, angka stunting mencapai sekitar 38%, jauh di atas rata-rata nasional. Kondisi ini menandai krisis multidimensi yang mengancam masa depan generasi muda Pegunungan Bintang.




Kekayaan Alam Melimpah, Rakyat Tetap Miskin

Dibalik pegunungan yang megah, tersimpan potensi tambang emas, tembaga, nikel, perak, hingga thorium—dengan estimasi setara tambang raksasa Grasberg di Mimika. Namun, masyarakat lokal nyaris tidak menikmati manfaat dari kekayaan ini.

Kasus pencabutan empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) karena kelalaian laporan cadangan, serta masuknya perusahaan asing seperti Far East Gold, menunjukkan betapa kompleksnya pengelolaan sumber daya di wilayah ini.

Sementara itu, maraknya Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) menimbulkan kerusakan lingkungan, memicu konflik keamanan dengan TPNPB-OPM, serta mengundang tindakan represif aparat. Alhasil, masyarakat lokal justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan.




Geopolitik Global dan Konflik yang Tak Pernah Reda

Pegunungan Bintang kini menjadi ajang tarik-menarik kepentingan global. Persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok untuk mengamankan akses terhadap mineral strategis menciptakan lapisan geopolitik baru yang berpotensi memperkeruh situasi jika tidak dikelola secara adil.

Konflik bersenjata antara TPNPB-OPM dan aparat keamanan telah berlangsung puluhan tahun. Ribuan warga menjadi pengungsi internal (IDPs), sementara ratusan korban jiwa jatuh dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil.

Pembatasan akses bagi jurnalis dan lembaga kemanusiaan membuat data sulit diverifikasi. Laporan pelanggaran HAM dari kedua pihak terus bermunculan, memperpanjang siklus kekerasan dan impunitas di kawasan pegunungan tengah Papua.




Menuju Jalan Damai dan Pembangunan Berkelanjutan

Arkilaus Baho menegaskan bahwa Pegunungan Bintang adalah simbol paradoks Papua: kaya secara alam, miskin secara manusia. Untuk mengubah kutukan sumber daya menjadi berkat, diperlukan langkah konkret dan visi jangka panjang yang menyentuh akar persoalan.

Ia menawarkan enam rekomendasi strategis untuk membangun masa depan yang damai dan berkeadilan:

1. Dialog Damai Inklusif
Bangun komunikasi politik jujur antara pemerintah, tokoh adat, dan masyarakat Papua untuk mengakhiri kekerasan dan menata ulang kepercayaan.


2. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Libatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam setiap proyek sumber daya.


3. Fokus pada Pembangunan Manusia
Perangi stunting, tingkatkan akses air bersih, dan reformasi pendidikan dengan mempertimbangkan kearifan lokal serta keterisolasian wilayah.


4. Tata Kelola Pertambangan Bertanggung Jawab
Terapkan standar Environmental, Social, and Governance (ESG) dan uji kelayakan HAM dalam setiap aktivitas industri ekstraktif.


5. Penegakan Hukum dan HAM yang Tegas
Lakukan penyelidikan atas pelanggaran HAM oleh semua pihak tanpa diskriminasi untuk menghentikan rantai impunitas.


6. Penyelesaian PETI Secara Komprehensif
Sediakan alternatif mata pencaharian yang layak bagi masyarakat lokal untuk mengakhiri ketergantungan pada penambangan ilegal.


Menurut Arkilaus Baho, Pegunungan Bintang saat ini berdiri di persimpangan sejarah — antara menjadi simbol kutukan sumber daya atau ikon kebangkitan kultural Papua.

“Tanpa komitmen politik yang kuat dan keadilan sosial, Pegunungan Bintang akan terus menjadi paradoks: kaya alamnya, miskin manusianya. Namun jika keadilan dan kedamaian ditegakkan, tanah ini bisa menjadi mercusuar harapan bagi seluruh Papua,” tutup Baho.(*)




Penulis: Arkilaus Baho
Aktivis Ekonomi-Politik dan Hak-Hak Masyarakat Adat
Penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here