Oleh : Arkilaus Baho | 22 Oktober 2025
Jamaninfo.com, Papua – Peristiwa pembakaran mahkota Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, tidak dipandang hanya sebagai tindakan penegakan hukum konservasi semata. Sebaliknya, insiden ini merupakan manifestasi nyata dari imperialisme budaya yang dijalankan melalui aparatus kolonial, di mana nilai-nilai dan regulasi sentralistik dipaksakan, mengabaikan, dan secara aktif menghancurkan warisan spiritual serta identitas masyarakat adat Papua.
Kecaman keras muncul menyusul beredarnya video pembakaran mahkota adat yang terbuat dari burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua. Masyarakat adat menyatakan penyesalan mendalam dan mengutuk tindakan tersebut, menegaskan bahwa masyarakat adat di tujuh wilayah merasa terhina. Pembakaran ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap norma budaya dan adat istiadat orang asli Papua.
Peristiwa pembakaran ini menuai kecaman luas di media sosial. Menanggapi hal tersebut, BBKSDA Papua selaku petugas pemusnahan akhirnya buka suara. Dalam konferensi pers yang dilaksanakan pada Rabu (22/10/2025), Kepala BBKSDA Papua, Johny Santoso, menyatakan pemusnahan aksesori Cenderawasih yang dilakukan pada Selasa (21/10/2025) adalah sesuai aturan yang berlaku, yakni Permen LHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017. Pemusnahan barang sitaan ini merupakan bagian dari kegiatan Patroli dan Pengawasan Terpadu terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) ilegal. Operasi yang dilaksanakan pada 15–17 Oktober 2025 di wilayah Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom, berhasil mengamankan 58 ekor satwa liar yang dilindungi dalam keadaan hidup, serta 54 opset satwa atau bagian tubuhnya dalam keadaan mati yang dijual di toko-toko.
Pertama, Imperialisme Budaya dan Fondasi Cacat Integrasi Papua: Analisis Kritis Kegagalan OTSUS
Peristiwa pembakaran mahkota Cenderawasih oleh BBKSDA Papua tidak dapat dipandang sekadar sebagai tindakan penegakan hukum konservasi semata. Sebaliknya, insiden ini adalah manifestasi nyata dari imperialisme budaya yang dijalankan melalui aparatus negara, di mana nilai-nilai dan regulasi sentralistik dipaksakan, secara aktif mengabaikan dan menghancurkan warisan spiritual serta identitas masyarakat adat Papua.
Tindakan BBKSDA, sebagai perpanjangan tangan institusi pusat yang menjalankan hukum nasional (Permen LHK No. P.26/2017), secara telanjang memperlihatkan kegagalan dan kepalsuan struktural dari kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Meskipun Otsus secara retoris menjanjikan pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak-hak adat serta identitas budaya Papua selama lebih dari dua dekade, janji ini terbukti tidak berdaya. Ketika kedaulatan budaya Papua dihadapkan pada kepentingan dan regulasi sentralistik Jakarta, hegemoni pusat selalu menang.
Kenyataan bahwa simbol spiritual dan identitas leluhur orang Papua justru dimusnahkan oleh negara setelah 20 tahun Otsus berjalan adalah bukti definitif bahwa Otonomi Khusus telah gagal total.
Kedua, Dari PEPERA 1969 ke Kegagalan OTSUS: Jerat Asimilasi dan Penundukan Budaya di Papua
Tragedi kultural yang terjadi saat ini—pelecehan budaya, devaluasi nilai adat, dan pemusnahan simbol identitas—bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Semua ini merupakan konsekuensi logis dan tragis dari fondasi integrasi yang cacat sejak awal. Landasan integrasi tersebut adalah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, sebuah peristiwa historis yang dinilai cacat secara moral, demokrasi, dan budaya.
Selama akar permasalahan politik dan historis ini tidak diakui dan diselesaikan, Indonesia tidak akan pernah mengakui filosofi hidup orang Papua secara tulus dalam kerangka NKRI. Tindakan pembakaran mahkota Cenderawasih menegaskan bahwa integrasi yang dimaksud oleh Jakarta bukanlah pengakuan timbal balik yang setara, melainkan sebuah proses yang berujung pada asimilasi dan penundukan budaya.
Hukum pusat akan selalu diprioritaskan di atas martabat budaya lokal, menjadikan kedaulatan budaya Papua sebagai kedaulatan yang bersyarat dan mudah dilucuti.
Ketiga, De-sakralisasi dan Pelecehan Sistemik: Wajah Nyata Aparatus Kolonial di Tanah Papua
Dalam kerangka imperialisme budaya, regulasi yang dikeluarkan oleh pusat berfungsi sebagai alat untuk mendefinisikan apa yang sah dan apa yang tidak, tanpa mempertimbangkan konteks budaya lokal.
Bagi negara, mahkota Cenderawasih adalah “barang sitaan ilegal” yang harus dimusnahkan demi menjaga kelestarian alam. Namun bagi orang asli Papua, Cenderawasih adalah “burung surga,” simbol spiritualitas, status sosial, dan identitas leluhur.
Tindakan pembakaran ini adalah upaya de-sakralisasi oleh negara. Ia mengubah artefak budaya yang sarat makna dan spiritual menjadi sekadar benda mati yang melanggar aturan sentralistik.
Kecaman keras dari masyarakat Papua yang merasa terhina dan menganggapnya sebagai pelecehan budaya adalah respons terhadap upaya sistematis penghapusan makna yang dilakukan oleh kekuasaan dominan.
Aparatus negara, dalam hal ini BBKSDA, bertindak sebagai perpanjangan tangan kolonial, memaksakan homogenitas hukum dan menindak pelanggaran adat sebagai pelanggaran hukum nasional.
Keempat, Pelecehan Sistemik dan Pembakaran Cenderawasih: Ketika Imperialisme Budaya Menghancurkan Mahkota Adat Papua
Pembakaran mahkota Cenderawasih adalah tindakan simbolis yang kuat dalam konteks imperialisme budaya. Insiden ini mengirimkan pesan yang jelas dan brutal kepada masyarakat adat: bahwa warisan leluhur mereka, meskipun dihormati secara turun-temurun dan memiliki makna spiritual mendalam, dianggap ilegal dan harus tunduk pada interpretasi hukum dari Jakarta.
Dengan menghancurkan mahkota tersebut, negara tidak hanya menindak pelanggaran konservasi, tetapi juga melakukan pelecehan sistemik terhadap norma adat dan upaya pelestarian budaya yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat.
Ini adalah upaya untuk memaksakan homogenitas budaya dan hukum, di mana identitas lokal harus “dibersihkan” agar sesuai dengan cetak biru nasional yang sentralistik.
Tindakan ini memperkuat narasi bahwa nilai-nilai adat Papua adalah penghalang kemajuan atau konservasi, sehingga harus “ditertibkan” melalui cara-cara yang merendahkan dan menghina, secara efektif menghancurkan mahkota adat Papua.(*)
Home Opini Pelecehan Sistemik dan Pembakaran Cenderawasih: Ketika Imperialisme Budaya Menghancurkan Mahkota Adat Papua






