Presiden Joko Widodo menerima Menteri Luar Negeri Malaysia Dato’ Sri Anifah Bin Haji Aman beserta delegasi di Istana Merdeka, Jumat, 11 Agustus 2017. Dalam pertemuan tersebut, Presiden membahas berbagai hal, diantaranya mengenai masalah perlindungan WNI.
“Presiden mengatakan bahwa masalah perlindungan WNI ini merupakan prioritas bagi pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, jika ada masalah, kita bicara, kita selesaikan bersama,” terang Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang memberikan keterangan usai pertemuan.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini mengapresiasi program pemerintah Malaysia yang memberikan kesempatan kepada “undocumented workers” untuk dapat bekerja kembali lewat cara-cara yang serupa dengan pemutihan. Namun, harga yang harus dibayarkan untuk mengikuti program tersebut masih dirasa terlalu tinggi.
“Oleh karena itu, kalau harganya terlalu tinggi maka buruh migran kita akan cenderung untuk tidak menggunakan itu sehingga upaya kita untuk menyelesaikan _undocumented workers_ ini menjadi terhambat. Menteri Luar Negeri Malaysia berjanji akan menyampaikan kepada Deputi PM yang menangani masalah ini agar melihat harga ini bisa diturunkan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga mengupayakan agar para pekerja Indonesia yang berada di Malaysia mendapatkan hak pendidikan sebagaimana mestinya. Mengenai hal itu, Indonesia telah melakukan terobosan dengan mendirikan Center for Community Learning Center (CLC) yang memungkinkan para pekerja mendapatkan pendidikan di sekitar lokasi bekerja.
“Sejauh ini sudah banyak sekali CLC yang didirikan. Jumlahnya sudah ada 255 CLC, 151 di Kota Kinabalu, 83 di Tawau, dan 21 di Kuching. Jadi kita minta agar kebijakan untuk mendirikan CLC ini dapat terus dilakukan agar hak pendidikan untuk para anak buruh migran kita bisa terpenuhi,” jelasnya.
Hal lain yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah hal yang berkaitan dengan perbatasan kedua negara, Kepala Negara mengatakan bahwa dirinya memandang perlu untuk menyelesaikan masalah batas kedua negara yang saling bertetangga itu dengan segera.
“Batas darat yang paling panjang yang kita miliki adalah dengan Malaysia, batas laut juga begitu, karena itu Presiden juga menyampaikan agar dilakukan intensifikasi negosiasi sehingga masalahnya bisa selesai. Karena kalau masalah batas ini tidak selesai, kemungkinan dapat memicu munculnya insiden-insiden,” ungkap Retno.
Secara spesifik, ia kemudian menjelaskan bahwa saat ini terdapat sembilan titik perbatasan di sepanjang punggung Kalimantan yang dijadikan prioritas bagi kedua negara untuk segera diselesaikan.
“Di sepanjang punggung Kalimantan itu kita semuanya berbatasan dengan Malaysia baik di Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Di sepanjang itu kita masih memiliki 9 titik, paling gampang 9 titik yang harus kita selesaikan,” ujarnya.
Sejak 2015 lalu, pemerintah Indonesia telah mengadakan pertemuan dengan pihak Malaysia sebanyak sembilan kali untuk melakukan pembahasan terkait hal itu. Retno memastikan bahwa kedua belah pihak akan semakin mengintensifkan pertemuan untuk membicarakan hal-hal teknis terkait batas kedua negara ini.
Kedua pihak juga membicarakan soal komoditas unggulan yang dimiliki kedua negara, utamanya kelapa sawit. Sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar, kolaborasi antara Indonesia dan Malaysia dalam meningkatkan daya tawar produk kelapa sawit dipandang akan saling menguntungkan kedua pihak. Utamanya dalam merespons kampanye hitam yang menyasar pada produk kelapa sawit asal Indonesia dan Malaysia.
“Kita dari Indonesia sudah menyiapkan banyak sekali hasil riset yang akan kita gunakan untuk meng-counter kampanye-kampanye hitam. Kalau itu kita lakukan berdua dengan Malaysia, kita yakin dampaknya akan lebih optimal,” ucapnya.
Malaysia sendiri merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Meskipun dalam perkembangan terkini nilai perdagangan kedua negara dipandang mengalami penurunan.
“Tapi bukan dari volumenya, dari nilainya, karena turunnya harga. Jadi sebenarnya kalau dilihat dari volume terjadi kenaikan, tetapi kalau dari nilai terlihat ada penurunan. Di tahun 2016, angka perdagangan bilateral kita sudah hampir mencapai US$ 15 miliar,” ia menjelaskan.
Terakhir, melalui Menlu Malaysia, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyampaikan undangan kepada Presiden Joko Widodo untuk dapat melakukan pertemuan pada tingkat kepala negara. Rencananya, pertemuan tersebut akan dilangsungkan pada bulan November mendatang.
“Jadi kita secara periodik melakukan pertemuan dan pertemuan yang akan datang rencananya akan dilakukan di Kuching, di Sarawak, pada bulan November. Jadi undangannya disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Malaysia kepada Bapak Presiden,” tuturnya.(*)
Jakarta, 11 Agustus 2017
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden
Bey Machmudin