Home Opini Pertamina untuk Rakyat

Pertamina untuk Rakyat

148
0
SHARE

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah memberikan persetujuan 7 kontrak Wilayah Kerja (WK) dari 8 WK terminasi yang kontraknya habis, di Jakarta, Jumat (20/4). Pemerintah menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai kontraktor yang akan mengelola tujuh WK tersebut. Tujuh kontrak tersebut terdiri dari 6 kontrak bagi hasil WK Alih Kelola dan 1 Amandemen Kontrak Bagi Hasil WK Mahakam.

Dengan ditunjuk sebagai kontraktor, Pertamina berpotensi untuk mendapatkan pendapatan kotor senilai USD 2,15 miliar atau sekira Rp 29,92 triliun dengan asumsi nilai tukar Rp 13.900. pendapatan tersebut didapatkan dari pengelolaan tujuh WK yang ditugaskan oleh pemerintah.

Sebagaimana diketahui, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan bahwa kapasitas produksi tujuh Wk tersebut sebesar 68.558 barel per hari minyak dan 306 juta kaki kubik (mmscfd) gas bumi.

Sebelumnya, Pemerintah juga menunjuk Pertamina menjadi pengelola Blok Mahakam dan Blok Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ). Dari pengelolaan tersebut, Pertamina mendapatkan total pendapatan bersih sebelum pajak sekira Rp 9 triliun per tahun.

Penunjukkan Pertamina sebagai kontraktor beberapa blok migas tersebut merupakan dukungan dari Pemerintah kepada Pertamina agar perusahaan tersebut mampu menjaga stabilitas harga eceran BBM Khusus JBT Premium dan JBKP Biosolar.

Selain itu, hal itu juga merupakan komitmen Pemerintah untuk mendukung kinerja perusahaan pelat merah tersebut agar tidak mengalami kerugian lantaran tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Pasalnya, dalam menaikkan harga BBM, Pertamina kerap beralasan bahwa kenaikan harga bertujuan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Selain itu, Pertamina juga beranggapan kenaikan harga untuk menyesuaikan dengan harga minyak dunia.

Memang, sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk melakukan intervensi terhadap harga BBM jenis umum (JBU) atau BBM non-subsidi seperti Pertalite, Pertamax, dan Pertamax Turbo.

Kebijakan tersebut tidak hanya berlaku untuk BUMN saja. Melainkan bagi semua badan usaha yang menjadi penyalur BBM dan beroperasi di seluruh kawasan Indonesia seperti, Vivo, Total, AKR, dan Shell.

Hal itu dilakukan untuk mengendalikan inflasi yang sering kali terjadi saat kenaikan harga BBM. Selain itu, Pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga daya beli masyarakat Indonesia. Pasalnya, kenaikan harga BBM bertaut erat dengan daya beli masyarakat secara langsung.

Bagi saya, keputusan Kementerian ESDM untuk melakukan intervensi langsung terhadap harga BBM tersebut sudah tepat. Pasalnya, Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan agar inflasi dan daya beli masyarakat menjadi dasar pertimbangan utama dalam menaikkan harga BBM.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 juga telah membatalkan pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1, dan pasal 28 ayat 2 dan 3 dalam UU No 22 Tahun 2001 yang mengatur tentang pelepasan harga BBM mengikuti mekanisme pasar. Menurut MK, peraturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

MK berpendapat bahwa keputusan untuk menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar akan mengancam hak rakyat atas harga BBM yang terjangkau. Maka dari itu, dibutuhkan intervensi dari Pemerintah dalam menentukan kebijakan harga BBM.

 

Iwan Dwi Laksono

Ketua Umum Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here