Presiden Joko Widodo mengingatkan tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara jelas termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ia sampaikan di tengah-tengah sambutannya pada acara penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2016 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa, 23 Mei 2017.
“Saya ingin masuk kepada fokus kita, tujuan utama kita, berbangsa dan bernegara. Perlu saya ingatkan kepada kita semuanya bahwa membentuk negara Republik Indonesia ini bukan untuk berseteru, bukan untuk bertikai. Tapi tujuan utama kita jelas, bahwa kita ingin menciptakan kesejahteraan umum, kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Presiden.
Menurutnya, selama 6 hingga 8 bulan ke belakang, energi bangsa ini habis hanya untuk berfokus pada hal-hal yang disebutnya tidak produktif. Maka itu, Kepala Negara kembali mengingatkan kepada seluruh pihak mengenai tujuan dari NKRI tadi.
“Kita banyak omong ketimbang bekerja di akhir-akhir ini. Banyak berdebat ketimbang bekerja. Banyak saling hujat ketimbang bekerja. Banyak demo-demo yang tidak bermanfaat ketimbang bekerja. Banyak saling menjelekkan ketimbang bekerja. Banyak saling menyalahkan ketimbang bekerja. Lupa kita semuanya untuk membangun negara ini, membangun negeri ini,” ucapnya.
Momentum diberikannya predikat layak investasi bagi Indonesia oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) merupakan salah satu kesempatan emas yang harus dimanfaatkan. Selain itu, pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2016 serta kepada 84 persen Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) juga menjadi saat yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk kembali bekerja keras.
“Sekarang ini, kesempatan emas ada di depan kita. Mendapatkan WTP artinya pengelolaan kita baik, 84 persen WTP. Jumat lalu kita juga mendapatkan kepercayaan internasional ‘investment grade’. Ini sebuah kesempatan yang harus kita gunakan. Jangan masuk dalam _framing_ saling menghujat, menjelekkan, menyalahkan, dan berdebat yang tidak ada habisnya,” kata Presiden.
Menilik ke belakang, Indonesia sesungguhnya sempat berjaya dan menjadi model utama bagi para negara tetangga. Ambil contoh jalan tol Jagorawi yang dahulu banyak dijadikan pembelajaran oleh negara-negara lainnya. Namun kini, Indonesia perlu diakui tertinggal dengan negara tetangga.
“Coba kita lihat tahun 1977, jalan tol Jagorawi yang kurang lebih 50 kilometer itu jadi contoh. Negara-negara lain pada datang ke sini. Tiongkok dan Malaysia datang melihat. Dari tahun 77 sampai sekarang sudah berapa tahun? Hampir 40 tahun kita hanya bisa membangun jalan tol 780 kilometer. Yang negara-negara tadi, yang melihat kita, Tiongkok, sudah 280 ribu kilometer. Berapa jauh kita sudah tertinggal?” tanyanya.
“Kita mau membangun kereta api cepat, jaraknya 148 kilometer, saja sampai sekarang belum mulai. Ributnya sudah dua tahun. Ramai debat, baik atau tidak baik. Sama seperti waktu kita bangun MRT, itu ramainya 26 tahun. Sudah direncanakan 26 tahun lalu, ramainya debat soal untung-rugi, baik-tidak. Negara lain sudah bangun dan itu bermanfaat, masih juga kita debatkan,” ujar Presiden memberi contoh lain.
Maka itu, Kepala Negara tak ingin Indonesia terus tertinggal. Ia juga tak ingin Indonesia terus menerus terjebak dalam pemikiran-pemikiran negatif. Ia ingin agar bangsa Indonesia dapat kembali bersatu untuk bersama-sama membangun bangsa.
“Saya mengajak Bapak/Ibu dan saudara-saudara semuanya, keluarlah kita dari pikiran-pikiran negatif seperti itu. Ajak kita semuanya untuk kembali pada pikiran-pikiran positif untuk maju bersama, bekerja bersama bagi bangsa ini,” tuturnya.(*)
Bogor, 23 Mei 2017
Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
Bey Machmudin