Home Politik Rembuk Nasional 50 Ribu Aktivis 98: Menegaskan Ke-Indonesia-an dengan Semangat 98

Rembuk Nasional 50 Ribu Aktivis 98: Menegaskan Ke-Indonesia-an dengan Semangat 98

160
0
SHARE

Gerakan Mahasiswa 98 merupakan generasi mahasiswa Indonesia yang berhasil membuat sejarah perubahan yang hasilnya dirasakan oleh seluruh elemen bangsa hingga hari ini. Diawali dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan, para aktivis 98 terus menuntut untuk dilakukannya perubahan.

Beberapa agenda reformasi juga terus diperjuangkan, diantaranya: Reformasi Politik, Reformasi Hukum, Pengadilan mantan Presiden Soeharto, Reformasi Ekonomi dan Reformasi Pendidikan.

“Jadi, enam tuntutan yang sering disebut-sebut selama ini merupakan bagian dari beberapa agenda reformasi yang diusung oleh para aktivis 98. Keenam tuntutan tersebut adalah: pengadilan Presiden Soeharto, penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, amandemen UUD 1945 khususnya terkait dengan pentingnya pembatasan jabatan Presiden, pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan pemberian otonomi daerah,” terang perwakilan Aktivis 98 dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (3/6).

Dalam keterangan pers tersebut, para Aktivis 98 memandang bahwa gerakan reformasi telah mengubah Indonesia yang otoriter pada pemerintahan Soeharto menjadi demokratis. “Partiisipasi politik rakyat sipil yang sebelumnya terbelenggu menjadi bebas dan terbuka. Masyarakat sipil bebas berbicara, berpendapat dan menyalurkan asapirasinya melalui institusi-institusi demokrasi yang ada,” ungkap mereka.

Sungguh keterbukaan tersebut merupakan barang mewah pada saat Pemerintahan Soeharto yang sangat otoriter. Persoalannya, sistem demokratis yang telah diperjuangkan dengan segenap pikiran, tenaga, air mata dan darah para aktivis 98 tersebut dalam kurun waktu 20 tahun terakhir justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengusung ideology trans nasional untuk menumbuh suburkan intoleransi dan terorisme.

“Peristiwa Bom di Kedubes Philipina awal tahun 2000-an, Bom Bursa Efek Jakarta (BEI) dan Bom Bali merupakan manifestasi dari perilaku intoleran,” tambahnya.

Kejadian teror di Surabaya beberapa waktu yang lalu serta serangan terhadap markas aparat keamanan di sejumlah daerah mengundang kkeprihatinan para aktivis 98 dari seluruh Indonesia.

Kasus bom bunuh diri di Surabaya menunjukkan bahwa eskalasi dari intoleransi dan terorisme di Indonesia. dunia pun mencatat kejadian itu sebagai peristiwa family suicide bomber pertama, dan mengingat pelakunya berasal dari keluarga mapan secara ekonomi, hal itu turut membantah pendapat yang menyatakan kemiskinan merupakan  faktor utama penyebab intoleransi dan terorisme.

“Belasan tahun kami memilih diam, dan mengamati fenomena intoleransi dan terorisme serta menyerahkan penanganannya kepada pemerintahan yang ada. Kini setelah dua puluh tahun, kami secara bersama memandang tidak boleh diam. Aktivis 98 yang memiliki hak sejarah atas perubahan di Indonesia harus meluruskan dan melawan intoleransi dan terorisme yang terus menerus mengikis orientasi kebangsaan rakyat Indonesia,” tegas mereka.

Fenomena bomber family ditambah dengan sikap diam elit politik yang ambigu dalam meresponj kejadian tersebut berpotensi menjadi ruang inkubasi dan hibernasi bagi tindakan intoleran dan terorisme sehingga akan sangat mengancam ke-Indonesia-an.

Bahaya intoleransi dan terorisme bukan khayalan lagi. Pasalnya, berdasarkan hasil survei dari Wahid Institute tentang intoleransi dan terorisme terhadap 1520 responden pada tahun 2017 lalu menunjukkan bahwa sebanyak 11 juta orang atau 7,7 persen dari total populasi di Indonesia mau bertindak intoleran. Dari survei tersebut juga didapatkan data bahwa 0,4 persen penduduk Indonesia atau sekira 600 ribu orang pernah bertindak ekstrim.

Berdasarkan latar belakang tersebut, lanjut keterangan mereka, aktivis 98 memutuskan untuk melakukan Rembuk Nasional di Monumen Nasional (Monas) pada tanggal 7 Juli 2018 mendatang. Hal itu karena alasan ideology dan situasi nasional.

Pertama, intoleransi dan terorisme telah berada pada tahap mengancam Pancasila dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Sikap ambigu elit politik cukup menunjukkan bahwa ekstrimisme telah meresap kepada cara pandang mereka.

“Hal ini sangat berbahaya karena menjadi ruang subur bagi tindakan ekstrimisme dan intoleransi untuk berinkubasi dan berhibernasi. Sikap ambigu mereka akan membuat ujaran kebencian meluas dan mereka yang terpapar kebencian akan dengan mudah terpapar ekstrimisme. Akibatnya, gampang sekali mereka menyebar fitnah, salah satunya dengan menuduh aparat keamanan merekayasa teror dan mengatakan pelaku teror sebagai korban,” paparnya.

Kedua, ekstrimisme, intoleransi dan terorisme telah menyebar ke segala lapisan sosial dan aparatur pemerintahan. Mereka yang terpapar ekstrimisme ditandai dengan mudahnya menjungkir balikkan fakta.

“Cara pandang mereka yang memonopoli kebenaran membuat mereka menjadi hakim bagi orang-orang yang berbeda dengan mereka. Kebhinekaan yang merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa justru hendak diseragamkan karena mereka memandang kebhinekaan sebagai musuh,” tutur para Aktivis 98 tersebut.

Perilaku orang-orang yang sudah terpapar ekstrimisme, intoleransi dan terorisme telah mereduksi dan merusak nilai-nilai kemanusiaan, seiring hilangnya orientasi kebangsaan pada diri mereka.

Situasi ini juga melanda lingkungan pendidikan dari tingkat kanak-kenak hingga perguruan tinggi. Sikap membiarkan ekstrimisme, intoleransi dan terorisme berhibernasi sama artinya dengan mengamini ke-Indonesia-an yang terkoyak-koyak.

Berdasarkan kedua alasan itu, Rembuk Nasional yang akan diikuti oleh 50 ribu aktivis 98 dari seluruh Indonesia ini akan diselenggarakan dengan tujuan memusyawarahkan pemikiran dan menyatukan langkah-langkah untuk menegaskan pentingnya menyelamatkan ke-Indonesia-an.

“Rembuk Nasional ini juga merupakan upaya membangun kembali orientasi kebangsaan sebagai komitmen semangat 98 untuk Indonesia,” pungkas para Aktivis 98.

 

Reporter: Rahmawati Alfiyah

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here