Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Ace Hasan Syadzily menyatakan bahwa publik harus kritis terhadap hasil survey yang partisan.
“Sandingkan dengan hasil lembaga survei yang lain. Kalau hasil surveinya nyeleneh sendiri patut diduga lembaga survei tersebut sedang membangun framing politik,” tandasnya Ace dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Selasa (22/1).
Ace menyebut, mayoritas lembaga survei menyebutkan selisih suara paslon 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dengan paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno adalah dua digit (sekitar 20 persen).
“Yang terakhir hasil survei Charta Politika juga menunjukkan jaraknya 20 persen,” tandasnya.
Ace menuding bahwa pasangan 02 sengaja meembuat framing dengan mem buat jarak elektabilitas hanya tinggal satu digit. Pasalnya, banyak lembaga survey yang menyebutkan selisih elektabilitas keduanya berjarak 20 persen. “Timses paslon 02 menyebut angka itu adalah survei internal yang tidak dipublikasikan,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa beberapa saat setelah klaim survei internal paslon 02 itu disampaikan ke publik, muncul rilis Median menjustifikasi klaim survei internal bahwa selisih elektabilitas pada bulan januari yang tinggal 9,2 persen.
Berbeda dengan hasil survei Populi Center, LSI, Litbang Kompas, Indikator Politik yg menyebutkan elektabilitas Jokowi di atas 50 persen, tapi hanya Median yang menampilkan elektabilitas Jokowi 47,9 persen.
“Jika menemukan lembaga survei yang beda sendiri, patut dicurigai motifnya dan juga kehandalan metodologinya,” tukas Ace.
Namun, menurut Ace, meskipun tetap mengikuti framing yang dilakukan oleh Median, selisih elektabilitas 9,2 persen juga masih berat bagi paslon 02 untuk mengejar elektabilitas lawannya. Pasalnya, Median sendiri menyebut kenaikan suara paslon 02 cenderung lambat.
“Dalam 3 bulan naik sekitar 3,2 persen. Maka dalam 3 bulan kedepanpun, dengan pola seperti itu, paslon 01 tidak akan terkejar. Melihat berbagai blunder 02 dan semakin panasnya mesin partai 01, bisa jadi elektabilitas 01 tidak tertandingi,” pungkasnya.
Editor: Eva Ulpiati