Berdasarkan amanat UU minerba No. 4 Tahun 2009, pembangunan smelter Freeport sudah seharusnya tuntas pada tahun 2013. Namun, kontrak karya justru memunggungi amanat konstitusi tersebut, yakni divestasi saham 51% pada tahun 2011 dan pembangunan smelter pada tahun 2001.
Semua itu telah berlalu. Freeport mengawang-awang soal smelter hingga kini. Yang bikin Freeport leluasa adalah berganti rezim berganti kebijakan.
Cara Freeport untuk membagi-bagi proyek mereka kepada pengusaha nasional yang berafiliasi dengan politik kekuasaan membuat perusahaan tersebut terasa adidaya sampai sekarang. Kejayaan tersebut sudah mereka lakukan di era reformasi. Sepuluh tahun kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono, ketentuan mengikat Freeport tak pernah kuat. Selalu berakhir dengan imbalan pinalti.
Seharusnya pemerintahan SBY sudah cabut keberadaan Freeport pasca UU menegasikan smelter tuntas 5 tahun pasca berlakunya ketentuan dimaksud. Perselingkuhan antara kapitalis Freeport vs politisi rakus di Indonesia, membuat Freeport mendapat tempat yang layak hingga akhir 2016.
Hingga memasuki era Jokowi, Freeport pertama kali dilabrak dengan pencabutan ijin ekspor. Terkatung-katung dari Januari hingga Maret. Ijin eksport diberikan namun pengurangan jatah ekspor. Pencabutan dan pengurangan nilai produksi kosentrat tersebut membuat perusahaan tersebut lunak dan menerima aplikasi IUPK.
Apakah kita menunggu sampai tahun 2022 bila tidak ada smelter, ijin ekspor dicabut kembali? Tidak! Ketentuan IUPK sebagaimana kewajiban mematuhi Perpres 1/2017 adalah perkembangan smelter dievaluasi per enam bulan sekali. Bahkan ditekankan bahwa ijin ekspor diberikan jika smelter sudah mencapai 30an persen, divestasi dan tetap mematuhi IUPK.
Sejak ketentuan tersebut berlaku, Freeport tidak pernah menunaikan kewajiban tersebut dalam kebijakan strategis mereka menyangkut usaha mereka di Grassberg Papua. Laporan Freeport dari quartal 1 sampai 3 di akhir tahun 2017 sama sekali tidak mencantumkan urusan smelter dalam rencana produksi mereka di Tanah Papua.
Barangkali Freeport sembunyi dari komitmen mereka soal smelter di atas awan sehingga siapapun tidak tahu perkembangannya?
Sampah Freeport
Lebih parah lagi, perusahaan membiarkan ulahnya diurus negara. Masalah PHK 3000 orang sampai sekarang tidak digubris perusahaan. Kemudian soal kesepakatan mereka dengan Rio Tinto kini membuat pemerintah mengincar 40 persen saham perusahaan Australia tersebut.
Belum lagi, pelanggaran negara dari Freeport oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Indonesia, mewajibkan Freeport ganti kerugian trilyunan. Temuan tersebut sama sekali tidak ada dalam skedul perusahaan untuk diselesaikan.
50 tahun Freeport sudah timbun jutaan ton sampah secara fisik (limbah). Bahkan puluhan sampah birokrasi sejak era orde Baru hingga kini. Masalah diatas, semuanya berlalu begitu saja tanpa keharusan menyelesaikannya.
Indonesia berjiwa gotong royong. Tapi tak harus gotong royong cuci sampahnya Freeport. Kerja bersama itu harus memastikan bahwa Freeport stop buang sampah ke negara ini dan berani memutuskan Go To Heal Your Aid. Caranya, stop perusahaan hingga seluruh persyaratan terpenuhi. Dari divestasi hingga smelter dan nasib tenaga kerja, pemulihan ekologis, pengaturan aturan DAS sungai serta hak-hak masyarakat lokal benar-benar diselesaikannya.
Arkilaus Arnesius Baho
Fungsionaris Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) Papua