Opini oleh: Endri Harimurti (Bendahara Umum DPP Jaringan Kemandirian Nasional)
Jamaninfo.com, Opini – Malam tadi, seorang ibu kehilangan anaknya. Selalu terasa ganjil bagiku, menyaksikan orang tua yang menurunkan anaknya ke liang lahat — seperti hukum alam terbalik. Itu bukan lagi takdir, itu adalah hasil dari kekuasaan yang bengis, dari tangan-tangan ‘dek’ aparat yang lebih cepat melakukan hal bodoh daripada berpikir dengan hati.
Namanya Affan Kurniawan. Umurnya 21 tahun, dan malam tadi, dia wafat dilindas mobil rantis yang ditunggangi tujuh aparat kepolisian. Pekerjaannya begitu mulia: mempermudah hidup masyarakat. Mengirim makanan, mengambil pesanan, juga mengantar orang dari satu titik ke titik lain. Namun, tugasnya telah purna malam tadi, dan barangkali, dia tidak sempat makan, belum berpesan, maupun mengantarkan perpisahan pada sanak keluarga tersayang.
Jalannya, seharusnya, masih panjang. Ada banyak impian dan cita-cita yang bisa dia raih, kebaikan dan kasih sayang yang bisa dia sebarkan, yang dengan malangnya, direnggut paksa kendaraan berlapis baja yang dikendarai aparat kepolisian. Dalam bayanganku, dia mungkin seorang anak dan kawan yang menyenangkan. Di umur semuda itu, dia sudah berkuliah sambil bekerja di jalanan. Tidak ada yang menyangka bahwa aspal dingin sungguh menjadi tempat terakhirnya mengembuskan napas.
Ironis bagaimana segala bentuk kekerasan yang dilakukan aparat pada rakyat ditampilkan begitu jelas, begitu keras, begitu transparan. Banyak mata melihat, kamera tak lupa turut meliput: brutalitas itu tidak juga ditanggalkan. Tertanggal sejak Senin, 25 Agustus 2025, berbagai elemen masyarakat merapatkan barisan, menuntut dan menyuarakan hak aspirasi mereka terkait kenaikan tunjangan, juga kelakuan dan lisan para pejabat. Hasil kolektif setelah sepekan lebih media sosial mengekspos ketidakcakapan (yang katanya) para wakil rakyat.
Daftar kebodohan yang begitu panjang, hingga masyarakat tidak bisa tidak berang. Di tengah carut-marutnya kondisi perekonomian, nihilnya 19 juta lapangan kerja yang dijanjikan, juga badai PHK yang tidak terelakkan — perkataan nirempati dan tidak napak tanah yang dilontarkan para perwakilan rakyat jelas memicu kericuhan.
Katanya, mereka digaji tiga juta sehari semata-mata untuk kontrakan sebulan (sungguh perhitungan yang tidak masuk akal). Bahwa mereka diwajibkan mengontrak di dekat Senayan, supaya memudahkan pekerjaan, supaya tidak terjebak kemacetan (dari dalam mobil mewah penuh kenyamanan). Padahal kerjaannya hanya memperkaya diri sendiri, walau belakangan, tampaknya cukup menikmati berjoget dan tertawa di atas penderitaan rakyat dari dalam ruang rapat.
Seakan tidak cukup, di ruang lain, mantan koruptor diberi tanda kehormatan. Sejumlah uang negara pernah lenyap di tangannya. Nominal yang cukup untuk menggaji guru dan dosen, para pendidik generasi, yang dianggap sebagai ‘tantangan’ bangsa. Aneh dan mengherankan, bukan?
Tapi mungkin memang inilah faktanya, bahwa mereka — pemerintah — selalu memelihara kemiskinan juga keterbelakangan pendidikan, agar rakyat mudah diatur oleh rasa lapar dan ketidaktahuan. Tapi mungkin ini jugalah saatnya, ketika kelaparan dapat menyulut amarah — dan rakyat sungguhlah sedang marah di jalan-jalan.
Marahlah. Uang yang kau beri untuk pajak itu dialokasikan untuk mendanai kehidupan hedon para anggota dewan. Uang yang kau kira untuk rakyat itu mengalir di dalam gas-gas air mata yang dilempar ke pemukiman, ke rakyat yang berhadapan. Uang yang kau yakini bertujuan baik itu masuk ke kantong para polisi yang memukul, menangkap, dan melindas Affan, dan beberapa kawan.
Pemerintah tidak lagi peduli terhadap rakyat, yang pontang-panting melanjutkan kehidupan di dalam keterbatasan dan pajak yang mencekik, sementara tunjangan dewan kian naik. Mereka duduk di dalam gedung, berjarak jauh dari para demonstran, membiarkan aparat menghabisi rakyat sementara mereka menutup telinga juga empati — mempertahankan kenyamanan diri sendiri. Kebijakan dan aturan yang mereka tegakkan hanya dan akan selalu berlandaskan kepentingan suatu golongan — dan rakyat, tidak akan mendapatkan bagian.
Tapi justru inilah bagian kita: untuk bersuara dan melawan, dari rakyat dan untuk rakyat. Sebab kemarin Kanjuruhan, hari ini Affan, besok mungkin aku, kau, dan kawan kita yang menjadi korban. Jadi, mau sampai kapan?
Suarakan. Suarakanlah. Sampai Menang.
(*)






