Dunia perpajakan dipenuhi gonjang ganjing, kadang juga pergunjingan, kita lalu terguncang. Baru-baru ini santer terdengar kontroversi memajaki orang yang sudah meninggal. Pangkalnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19/PMK.03/2018 tentang perubahan kedua PMK No. 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan.
Lantas benarkah aturan ini berlebihan dan mencerminkan bahwa Pemerintah kalap dan kehabisan akal sehingga ingin memajaki isi rekening orang yang sudah meninggal?
Untuk memahami ini, mari mundur sedikit menilik UU No 9/2017 (pengesahan Perppu No. 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan), sebagai bagian prasyarat dan komitmen Indonesia dalam keikutsertaan inisiatif global tentang Automatic Exchange of Information (AEoI).
Salah satu hal penting yang diatur UU ini adalah kewajiban Lembaga Jasa Keuangan (LJK) melaporkan informasi keuangan nasabah ke Dirjen Pajak, termasuk yang disimpan di LJK dalam negeri. Untuk orang pribadi saldonya paling sedikit Rp 1 miliar, dan pertukaran antarnegara ambang batasnya USD 250 ribu.
Mengapa harus ada UU ini? Karena sekian lama sistem perpajakan kita tumpul dan mandul, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap data keuangan. Padahal logika pemungutan pajak adalah profiling, yakni mengetahui “siapa melakukan apa” dan “siapa memiliki apa”. Buktinya? Simak saja data amnesti pajak. Hampir 80% harta deklarasi atau sekitar Rp 3700 triliun berasal dari dalam negeri, dan 60% di antaranya adalah aset keuangan.
Dengan kata lain, pekerjaan rumah kita adalah membangun sistem perpajakan yang memiliki akses luas (transparan) sekaligus menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan (akuntabel). Dalam negara demokratis, di hadapan otoritas pajak tidak ada kerahasiaan (secrecy), karena ini hanya akan menciderai rasa keadilan publik. Namun konstitusi memberi jaminan perlindungan data pribadi (privacy) dari penyalahgunaan.
Lalu apa hubungannya dengan orang yang sudah meninggal? Nah, mari kita tilik UU PPh. Di sana diatur tentang siapa subyek pajak, antara lain ‘warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak’. Kenapa warisan yang belum terbagi harus menjadi subjek pajak?
Warisan ini pada dasarnya akan menjadi milik ahli waris, namun ketika belum dibagi maka ia belum menjadi milik ahli waris. Lantas muncul problem: bagaimana ‘warisan’ ini melaksanakan kewajiban perpajakan? Persis di sini kuncinya: demi dapat menjalankan kewajiban maka ‘warisan yang belum terbagi’ menjadi subjek pajak. Kewajiban baru timbul ketika warisan tersebut mendatangkan penghasilan yang merupakan objek pajak.
Secara administratif warisan ini akan menggunakan NPWP pewaris (yang meninggal), hingga warisan dibagi nanti akan berpindah menjadi milik ahli waris masing-masing. Pelaksanaan kewajiban praktis tetap dijalankan ahli waris karena tak mungkin pewaris yang sudah di dunia lain diwajibkan membayar dan melapor pajak. Untuk lebih mudahnya, simak ilustrasi berikut.
Tuan Gerandong (NPWP 09.123.456.7-891.000) meninggal dunia dan meninggalkan deposito di Bank Ghaib sebesar Rp 100 miliar. Deposito ini belum dicairkan dan merupakan warisan yang kelak akan dibagi untuk lima anak Tuan Gerandong. Saat ini warisan tersebut belum dibagi sehingga atas deposito ini masih diadministrasikan dalam NPWP Tuan Gerandong (almarhum) dan dijalankan salah satu ahli waris. Karena deposito ini menghasilkan bunga 5% per tahun, maka ada pendapatan bunga Rp 5 miliar dan telah dikenai PPh final 20% atau Rp 1 miliar. Ahli waris melaporkan pelaksanaan kewajiban pajak ‘Warisan Tuan Gerandong yang belum dibagi’ dengan melaporkan di SPT ‘Warisan Tuan Gerandong’ nilai harta dan besarnya pajak yang telah dipotong bank. Tidak ada pajak lagi dalam laporan ini.
Dengan kebijakan administrasi seperti ini, Ditjen Pajak dapat merunut asal usul perpindahan harta dari pewaris kepada ahli waris. Kualitas profiling terjaga. Kantor Pajak cukup mencocokkan data yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT (deposito Rp 100 miliar) dengan deposito laporan LJK (Rp 100 miliar). Klop! Lagi-lagi, tidak ada pajak baru. Arwah Tuan Gerandong pun tenang di alam baka. Lalu bagaimana jika deposito itu sudah dibagi ke ahli waris?
UU PPh kita mengatur di Pasal 4 ayat (3), bahwa warisan bukan merupakan objek pajak. Ini berlaku sejak 1984 sampai detik ini. Dengan demikian ketika tiap-tiap anak Tuan Gerandong menerima pembagian warisan Rp 20 miliar/orang, harta tersebut bukan objek pajak. Mereka cukup melaporkan di dalam SPT telah mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Rp 20 miliar) dan mencantumkan di daftar harta deposito/uang sebesar Rp 20 miliar. Lagi-lagi klop, tidak ada pajak tambahan!
Jadi penambahan klausul di Pasal 7 ayat (3) PMK-19/2018 justru untuk menutup lubang kekurangan dan menciptakan keadilan, supaya siapapun yang memperoleh penghasilan membayar pajak, termasuk jika warisan yang belum terbagi menghasilkan tambahan penghasilan yang merupakan objek pajak dan belum dipajaki. Misalnya, warisan berupa perkebunan sawit yang menghasilkan TBS (tanda buah segar), yang berpotensi menjadi keuntungan ketika dijual dan merupakan objek pajak. Aturan ini menciptakan rasa keadilan: yang memiliki tambahan kemampuan ekonomis harus membayar pajak! Yang lebih mampu, membayar pajak lebih tinggi!
Akhirnya, saya ingin berbagi tips sederhana menghadapi era keterbukaan ini. Pastikan profil kita sudah sesuai, antara akumulasi penghasilan yang kita terima, jumlah harta di dalam SPT, dan jumlah harta menurut laporan LJK. Apabila ini sudah dipenuhi, maka kita termasuk Wajib Pajak Patuh dan tidak perlu risau. Bagi yang belum sesuai, segera manfaatkan waktu yang tersisa untuk membetulkan SPT dan membayar kekurangan pajak apabila ada. Kita mungkin akan dihimbau untuk membayar.
Waktu terus berjalan, mari berbenah agar tidak ketinggalan kereta reformasi. Kita berkejaran dengan waktu dan jangan menyesal jika terlambat. Prinsipnya: pastikan semua yang kita miliki bersumber dari penghasilan yang sudah dibayar pajaknya, lalu laporkan semua apa adanya. Jika benar, tak perlu gusar. Hanya mereka yang salah yang patut gelisah. Karena kebijakan ini justru menciptakan keadilan, karena yang tidak pernah terjamah dan tak membayar pajak besar kemungkinan terendus persembunyiannya.
Satu-satunya cara berpartisipasi adalah berlomba menjadi wajib pajak patuh, yakni masuk kategori risiko rendah. Kelak, melalui Compliance Risk Management (CRM), semua data dan informasi akan diolah dan menghasilkan klasifikasi risiko. Yang berisiko tinggi akan diperiksa bahkan disidik, yang berisiko rendah dapat tidur nyenyak dan mendapat penghargaan. Karenanya, mari ambil bagian dalam barisan perubahan, agar melalui pajak bangsa ini lebih adil, maju, dan sejahtera. Dengan taat pajak, kita pun berhak mengontrol kekuasaan, antara lain melalui tuntutan belanja APBN yang lebih kredibel dan menyejahterakan rakyat.
Akhirnya, pajak adalah urusan manusia yang hidup, bukan mereka yang telah tiada. Lantaran warisan, tak ada beban pajak (baru) buat mereka, juga buat kita. Biarlah cukup kita kenang jasa dan kebaikan mereka yang telah tiada, dan semoga warisan mereka memperkaya dan menyejahterakan generasi penerus di dunia. Panjang usia dan sehat bahagia buat kita semua!
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)