Oleh : Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.

Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan arah dan tujuan nasional dari berdirinya Republik Indonesia. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kalimat “melindungi segenap bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum” mengandung maksud bahwa siapapun pemimpin negeri ini harus mampu membawa persatuan dari kebhinekaan masyarakat Indonesia, mengatasi paham golongan dan perseorangan.
Persatuan yang memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan agama, keyakinan, budaya, suku, dan bahasa. Juga mampu memberi kemakmuran dan keadilan sosial bagi rakyatnya.
Namun dalam perjalanannya, setiap pemimpin dihadapkan pada tantangan yang berbeda di setiap zamannya. Misalnya, dalam menata bangsa Indonesia yang baru merdeka, Soekarno tidak hanya menghadapi gempuran Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia tetapi juga rongrongan dari dalam yang hendak memecah keutuhan dan persatuan bangsa.
Pada 1948 Soekarno khawatir dengan perpecahan ideologis (politis) sesama anak bangsa yang saling bersaing untuk menguasai dan mempengaruhi negara yang baru lahir. Sementara pemerintahan yang baru merdeka sangat lemah dan harus menghadapi agresi Belanda dan sedang berjuang di diplomasi internasional demi mendapatkan pengakuan kemerdekan.
Soekarno mencari momentum untuk mempersatukan kembali bangsanya. Pilihan momentum itu lalu diambil pada kelahiran Budi Utomo, 20 Mei 1908.
Pesan dari Soekarno sangat jelas bahwa Hari Kebangkitan Nasional menjadi simbol politik negara untuk memperkuat persatuan nasional. Oleh karena itu, momentum kebangkitan nasional haruslah kontekstual, sesuai dengan situasi zaman. Dalam kerangka relevansi tesebut, maka makna kebangkitan nasional harus revelan dengan tantangan bangsa saat ini.
Tantangan Bangsa
Tantangan saat ini yang harus dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia dalam rangka “melindungi segenap bangsa”, kebhinekaan, toleransi dan pluralisme, adalah menyeruaknya kembali politik identitas dengan membawa sentimen agama.
Bahkan ada kelompok tertentu terang-terangan menyatakan menolak Pancasila dan menunjukan keberpihakan pada kelompok Negara Islam Suriah (ISIS) dan Khilafah, menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagai bangsa yang telah melalui proses dialektika sejarah yang menjadikan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara, serta NKRI sebagai wujud kewilayahan kita, maka upaya menggantikan keduanya akan membuat kita mundur sebagai bangsa.
Pancasila sudah menjadi konsensus nasional yang memberi fundamen dasar terbentuknya NKRI sebagai bangsa yang mencerminkan kebhinekaan dan keberagaman. Mengganti Pancasila sebagai ideologi negara sama saja membubarkan NKRI.
Sementara dalam rangka “memajukan kesejaheraan umum”, ada tiga tantangan yang harus menjadi prioritas pemerintah saat ini. Pertama, korupsi yang telah mengakibatkan hilangnya anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pelayanan dasar, fasilitas umum dan infrastruktur. Karena itu penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi prioritas utama pemerintah saat ini yang perlu dukungan masyarakat.
Kedua, revitalisasi dan penguasan aset-aset strategis nasional yang berdampak pada hajat hidup orang banyak. Banyak kebijakan “privatisasi” di masa lalu oleh pihak asing telah merugikan negara dan masyarakat. Proses negoisasi saham PT Freeport telah menunjukan upaya pemerintah menjalankan amanat konstitusi dan Trisakti.
Contoh ini dapat membuka jalan bagi negoisasi aset-aset strategis negara lainya yang dimiliki swasta maupun asing.
Ketiga, gurita oligarki warisan masa lalu yang masih kuat bercokol di hampir semua kelembagaan pemerintahan, partai politik, lembaga hukum, sampai lembaga keagamaan.
Tantantangannya bahwa para oligarki ini adalah aktor-aktornya yang sangat berkuasa dalam ekonomi-politik Indonesia, dan sangat berpengaruh di era Orde Baru, transisi demokrasi dan saat ini.
Mereka tidak hanya mempunyai uang, tapi jaringan dan posisi-posisi di partai politik, sehingga memungkinkan mereka mendominasi sistem baru yang demokratik. Mereka siap melayani kepentingannya dengan cara membeli dan mendistorsi sistem hukum, dari polisi dan jaksa sampai ke hakim dan politisi.
Para oligarki ini berusaha mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan di masa lalu, ketimbang bergandengan tangan dengan masyarakat mendukung perubahan dan demokrasi.
Pada akhirnya, energi dan spirit nasionalisme bangsa Indonesia harus diarahkan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Hari Kebangkitan Nasional sudah selayaknya menjadi momentum bangsa untuk fokus pada hal-hal konkrit untuk “melindungi segenap bangsa” dan “memajukan kesejahteraan umum” menjadi realitas.(*)