13 Desember 2017 Indonesia kembali memperingati 60 tahun momentum Deklarasi Djuanda 1957. Deklarasi ini kemudian dapat dimaknai sebagai kristalisasi perjuangan Indonesia sebagai negara maritim, yang mengubah konsepsi kolonial yakni laut sebagai pemisah menjadi konsepsi negara kepulauan yang menjadikan laut sebagai penyatu pulau-pulau. Dengan Naskah Deklarasi Djuanda:
1.Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.
2.Sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
3.Ketentuan ordinasi 1939 tentang ordinasi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan ;
- Untuk mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
- Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azaz Negara kepulauan
- Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
Deklarasi Djuanda telah menjadikan laut indonesia sebagai penghubung satu kesatuan NKRI, maka seharusnya tugas nasional yang semestinya terus digelorakan paska deklarasi Djuanda adalah dengan mewujudkan kenoktevitas antar pulau-pulau di Indonesia, untuk mempermudah posisi negara berlaku adil dalam setiap pembangunan fisik maupun non fisik di seluruh pelosok kepulauan indonesia. Sehingga deklarasi Djuanda bisa dimaknai secara universal yakni tidak hanya sekedar penyatuan teritori, tapi juga penyatuan ekonomi yang terkoneksi merata secara nasional.
Terminologi laut sebagai penghubung, mestinya pembangunan antar pulau di Indonesia bisa berkembang beriringan tidak seperti skema pembangunan yang dilakukan dimasa pemerintahan orde baru yang hanya menempatkan pulau Jawa sebagai sentral pembangunan nasional. Tidak meratanya pembangunan nasional berimplikasi pada ketimpangan Kontribusi Pendapatan domestik bruto (PDB) nasional berdasarkar pulau yaitu Pulau Jawa 57,86 %, Pulau Sumatera 23,88 %, Pulau Kalimantan 8,93 %, Pulau Sulawesi 4,61 %, Pulau Nusa tenggara dan Bali 2,55 dan Pulau Papua 2,33 %. (Sumber, Bappenas 2015).
Tol Laut
Dengan semangat deklarasi Djuanda seharusnya diikut sertakan dengan pembangunan infastruktur perhubungan laut yang memadai. Karena sesungguhnya yang dapat menjembatani rakyat terhadap laut adalah kapal dan pelabuhan.
Kebijakan transpotasi laut antar pulau di Indonesia telah dimulai di era pemerintahan presiden Bung Karno (1953) dengan kebijakan Pelayaran Interinsuler dengan menjadikan perusahaan negara Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) sebagai pelaksana utamanya. Saat itu Indonesia telah memiliki 13 kapal negara yang di susul kemudian pesanan pemerintah indonesia 45 kapal yang di operasikan dalam pelayaran interinsuler dengan total 58 kapal negara. Karena transportasi merupakan hajat hidup orang banyak maka tidak boleh di kuasai (privatisasi) oleh segelintir orang.
Program Tol laut, dengan konsep hilirisasi ekonomi melalui perhubungan laut dalam kebijakan pemerintah Jokowi JK perlu didukung dan di apresiasi, karena tol laut dapat di maknai sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk menghadirkan negara dilaut dengan memperkuat peran armada nasional melalui PT. Pelni sebagai operator kapal tol laut, yang selama ini hilirisasi logistik nasional melalui laut didominasi oleh pelayaran swasta.
Dengan program Tol Laut yang berbasis daerah tertinggal, terpencil, terdepan dan perbatasan di 41 pelabuhan dengan 13 trayek (sumber: djpl 2017) dan dukung oleh Bappenas dengan konsep ship promote the trade, dimana pembangunan konektivitas di wilayah Timur Indonesia diharapkan mampu meningkatkan aktivitas ekonomi dan perdagangannya.
Operasional kapal tol laut dengan anggaran subsidi negara sebesar 335 milyar ditahun 2017 dan 447 milyar ditahun 2018, tentu publik berharap dengan anggaran tersebut pemerintah dapat wujudkan konektivitas nasional yang efektif dan efisien. Namun ironisnya 3 tahun program tol laut masih menyisahkan kendala seperti muatan kapal balik dari wilayah Indonesia Timur dengan tingkat keterisisan muatan kapal hanya 30%-50% saja. Dengan kondisi demikian program tol laut akan tertatih-tatih untuk mewujudkan konektivitas ekonomi nasional.
Hilirisasi logistik dilaut merupakan bagian dari diskursus hilirisasi ekonomi nasional. Selain menyiapkan armada kapal, pelabuhan dan sumberdaya manusia yang mumpuni, pemerintah perlu memperhatikan aspek komoditas muatan angkutan laut untuk menunjang keseimbangan hilirisasi logistik yang efektif dan efisien melalui laut.
Hilirisasi logistik nasional bisa terwujud apabila fondasi hulu ekonomi nasional juga dibangunkan. Kebijakan hulu ekonomi nasional melalui akselerasi kebijakan pangan berbasis komoditas lokal adalah kunci keseimbangan hilirisasi ekonomi nasional, daerah-daerah di Indonesia tentu mempunyai komoditas unggulannya yang menjadi bagian dari identitas daerahnya. Komoditas-komoditas lokal inilah yang kemudian harus di genjot serta memberikan jaminan pasar yang layak untuk kesejahteraan petani dan nelayan.
Kebijakan akselerasi hulu ekonomi berbasis komoditas lokal ini selain diyakini sebagai penopang mewujudkan kesimbangan hilirisasi logistik nasional, juga dapat menjamin ketersediaan konsumsi nasional (pangan) dapat terpenuhin yang kemudian dapat meghapuskan ketergantungan inpor atas komoditas-komoditas yang sebenarnya dapat diproduksi didalam negeri. Dengan demikian kesatuan antar pulau-pulau di Indonesia sesuai semangat deklarasi Djuanda dalam konteks kenektivitas ekonomi nasional dari hulu ke hilir dapat diwujudkan.
Makbul Muhammad, ST, M.Han.
Direktur Maritim Research Institute
(MARIN Nusantara)