Home Opini Tragedi Kemanusiaan Papua Memuncak: Otsus Gagal Total, Rakyat Mengungsi Massal Sementara Jakarta...

Tragedi Kemanusiaan Papua Memuncak: Otsus Gagal Total, Rakyat Mengungsi Massal Sementara Jakarta Sibuk Urus Palestina

438
0
SHARE


Papua dalam Darurat Kemanusiaan: Air Mata di Tanah Mutiara Timur

Jamaninfo.com, Tanah Papua—yang selama ini dijuluki sebagai mutiara timur Indonesia—kini kembali menjadi saksi derita panjang warganya. Bukan karena kekayaan alam yang melimpah, melainkan karena tragedi kemanusiaan yang kian memuncak.
Data terbaru menunjukkan, gelombang pengungsian internal atau internally displaced persons (IDPs) di Papua telah mencapai tingkat paling mengkhawatirkan dalam dua dekade terakhir. Fakta ini memperlihatkan kegagalan sistemik negara dalam melindungi warganya sendiri, sementara perhatian elit politik di Jakarta justru tertuju pada isu-isu luar negeri.

Lebih dari 60.000 Orang Asli Papua (OAP) dari Intan Jaya dan Puncak terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik bersenjata. Di Nduga, angka pengungsi melonjak hingga 80.709 jiwa per Agustus 2025.
Yahukimo mencatat angka yang bahkan lebih tragis—100.000 OAP mengungsi tanpa kepastian, sementara Pegunungan Bintang menyaksikan 80.000 jiwa terusir pada 2024. Di Maybrat, sekitar 6.000 OAP masih hidup dalam ketidakpastian hingga kini.

“Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah potret nyata ribuan jiwa yang kehilangan rumah, mata pencarian, pendidikan, dan martabat. Ini bukti kegagalan negara menjamin hak dasar hidup dan keamanan bagi rakyat Papua,”
Arkilaus Baho, aktivis Papua dan penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP).


Otonomi Khusus: Solusi yang Gagal Total

Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang diharapkan menjadi “jalan damai” bagi Papua kini justru dianggap sebagai simbol kegagalan negara.
Selama lebih dari dua dekade pelaksanaannya, dengan alokasi dana mencapai Rp 94,24 triliun (2001–2021), Otsus dinilai tidak membawa perubahan signifikan bagi kesejahteraan Orang Asli Papua.

Alih-alih memberdayakan rakyat, Otsus justru menjadi saksi bisu atas pengusiran massal, kemiskinan ekstrem, dan krisis pembangunan manusia.
Di Yahukimo, angka kemiskinan ekstrem mencapai 33,82%, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tetap terendah di Indonesia, sementara prevalensi stunting menyentuh 43,6%.

“Otsus tidak hanya gagal menyelesaikan akar konflik, tetapi justru menjadi saksi bisu penderitaan rakyat Papua. Ini tamparan keras bagi narasi pembangunan dan perdamaian yang selama ini digaungkan Jakarta,”
— tegas Arkilaus Baho.


Paradoks Nasional: Papua Berdarah, Jakarta Sibuk Urus Palestina

Krisis kemanusiaan di Papua terjadi di saat perhatian elite politik nasional justru beralih ke isu luar negeri.
Pernyataan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengenai investasi 15.000 hektar lahan untuk Palestina, di tengah laporan kelaparan di Nduga, dinilai sebagai bentuk paradoks kebijakan nasional.

“Negara lebih peduli pada semut di seberang lautan (Palestina) daripada gajah di depan mata (Papua) yang sedang mati kelaparan di bawah naungannya sendiri,”
— kritik Baho.
“Apakah nyawa Orang Asli Papua tidak seberharga nyawa bangsa lain di mata pemimpin negeri ini?”

Baho menilai situasi ini mencerminkan pembatalan kontrak sosial antara negara dan rakyat Papua. Negara gagal melindungi hak hidup, keamanan, dan kebebasan rakyatnya sendiri—yang berarti legitimasi moral dan hukum negara berada di ujung tanduk.


Seruan Mendesak: Ganti Paradigma, Bukan Sekadar Retorika

Melihat situasi yang semakin memburuk, Baho menyerukan perubahan paradigma nasional yang lebih berorientasi pada kemanusiaan dan keadilan. Ia menekankan lima langkah mendesak yang harus segera diambil pemerintah pusat:

  1. Inisiasi Dialog Damai Inklusif
    Melibatkan semua pihak—termasuk TPNPB-OPM, pemimpin adat, tokoh agama, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat sipil—dalam dialog netral dan tanpa syarat.
  2. Penegakan HAM dan Akuntabilitas
    Lakukan investigasi independen terhadap seluruh pelanggaran HAM di Papua dan adili para pelakunya tanpa pandang bulu.
  3. Buka Akses Kemanusiaan dan Lindungi Warga Sipil
    Berikan akses penuh kepada lembaga kemanusiaan, media, dan organisasi internasional. Tetapkan jeda kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan dan evakuasi warga.
  4. Kelola Sumber Daya Secara Adil dan Bertanggung Jawab
    Terapkan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dan pastikan hasil kekayaan alam Papua dinikmati rakyat, bukan segelintir elite.
  5. Alihkan Paradigma dari Pendekatan Keamanan ke Pembangunan Manusia
    Fokuskan kebijakan pada pemberdayaan masyarakat, peningkatan kualitas hidup, dan penghapusan ketimpangan sosial-ekonomi.

“Ketika sebuah negara gagal memenuhi kewajiban paling dasar terhadap rakyatnya, maka rakyat berhak—bahkan wajib—mempertanyakan kembali fondasi hubungan politik mereka,”
— pungkas Arkilaus Baho.
“Sejarah akan mencatat, apakah kita memilih diam, atau bertindak menghentikan tragedi ini.”


Kesimpulan

Krisis kemanusiaan di Papua telah menembus batas moral dan politik bangsa. Di saat darah dan air mata rakyat Papua terus mengalir, pemerintah pusat dituntut untuk segera menegakkan tanggung jawabnya sebagai pelindung seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Jika tidak, legitimasi negara di mata rakyat Papua akan semakin terkikis, dan sejarah akan menuliskan bab kelam baru dalam perjalanan bangsa.(*)


Tanggal: 2 November 2025
Penulis: Arkilaus Baho – Aktivis ekonomi-politik dan hak-hak masyarakat adat, penggagas Dewan Rakyat Papua (DRP)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here