Baru-baru ini terjadi polemik terkait diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 tentang Cara Lain Menghitung Peredaran Bruto. Lalu sempat beredar tulisan yang sangat cepat menyebar dan diyakini kebenarannya.
Hal ini cukup meresahkan karena seolah Pemerintah akan mengejar pajak secara agresif, menyasar ke semua orang dengan segala jurus. Apakah benar demikian? Saya coba menjelaskan latar belakang dan konteksnya supaya lebih jelas.
Kenapa harus ada PMK Nomor 15 Tahun 2018?
PMK ini merupakan pelaksanaan Pasal 14 ayat (5) UU PPh, yang memerintahkan Menteri Keuangan untuk menetapkan cara lain menghitung peredaran bruto, dalam hal wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, atau tidak memperlihatkan pencatatan/bukti-bukti pendukungnya.
Kenapa harus dihitung dengan cara lain?
Karena pembukuan berdasarkan standar akuntansi yang baik adalah sarana yang dibutuhkan untuk dapat menghitung peredaran bruto (omset) dan laba bersih, sehingga dapat dihitung pajak terutang.
Tanpa pembukuan/pencatatan/penyerahan bukti pendukung, peredaran bruto (omset) dan laba bersih sulit diketahui. Ini yang menjadi pertimbangan kenapa peredaran bruto (omset) harus dihitung dengan cara lain.
Bagaimana cara menghitung pajak kita?
Pajak kita dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Bagi yang menyelenggarakan pembukuan, PKP dihitung dengan rumus (Penghasilan – Biaya – PTKP untuk WP OP). Bagi WP yang membuat pencatatan, PKP dihitung dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) yang dibuat Dirjen Pajak dan dikurangi PTKP.
Contoh:
Ibu Penisilin, seorang dokter. Menurut ketentuan NPPN 50%. Jika omsetnya Rp 4 Miliar, maka NPPN-nya 50% x Rp4 miliar=Rp 2 miliar. Jika bujang maka PTKP-nya Rp 54 juta, sehingga PKP-nya sebesar Rp 1,946 miliar, dan pajak terutang sebesar Rp 528,8 juta, dihitung dengan cara:
5% x 50 juta = Rp 2,5 juta
15% x 200 juta = Rp 30 juta
25% x 250 juta = Rp 62,5 juta
30% x Rp 1,446 M = Rp 433,8 juta
Bapak Dendy, pedagang eceran mainan. Menurut pencatatan yang dilakukan, omset selama setahun adalah Rp 4 miliar. Ia masuk kategori UKM sesuai PP 46/2013, sehingga terutang PPh 1% final, sehingga kewajiban pajaknya Rp 40 juta. Dendy Perkasa, memiliki peredaran bruto (omset) Rp 100 miliar dan berdasarkan pembukuan laba bersih (penghasilan kena pajak) Rp 5 miliar. Maka pajak terutang 25% x Rp 5 miliar = Rp 1,25 miliar.
Lalu siapa yang wajib menyelenggarakan pembukuan/pencatatan?
Menurut Pasal 28 UU KUP, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
Sedangkan yang wajib melakukan pencatatan adalah WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan omsetnya kurang dari Rp 4,8 miliar setahun.
Dalam contoh di atas, PT Dendy Perkasa wajib menyelenggarakan pembukuan, sedangkan Ibu Penisilin dan Bapak Dendy setidaknya wajib membuat pencatatan. Jadi hanya yang punya usaha atau pekerjaan bebas, sehingga karyawan/pegawai tidak termasuk.
Lalu bagaimana cara lain ini diterapkan?
Cara lain ini diterapkan pada saat pemeriksaan pajak. Hal ini dikarenakan pemeriksa pajak tidak dapat meyakini kebenaran pembukuan/pencatatan/bukti pendukung yang tidak atau tidak sepenuhnya disampaikan.
Maka pemeriksa pajak akan menggunakan salah satu atau beberapa dari delapan metode yang diatur antara lain transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan dana, satuan dan/atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, SPT/hasil pemeriksaan sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, atau penghitungan rasio.
Dengan kata lain, sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan menyerahkan kepada pemeriksa, maka kewajiban pajaknya tidak akan dihitung dengan cara lain ini.
Apakah penggunaan cara lain ini adil?
Menurut UU KUP, kita menganut sistem self assessment (swadiri), yakni WP diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
Ini hal yang luar biasa, maka jangan sampai kepercayaan ini disalahgunakan, antara lain dengan tidak menyelenggarakan pembukuan/pencatatan. Di sisi lain, Ditjen Pajak berwenang menguji kepatuhan wajib pajak, dengan pemeriksaan. Pertama-tama yang akan diuji adalah pembukuan/pencatatan/bukti pendukung.
Jika tidak tersedia, baru digunakan cara lain dan penghasilan neto akan dihitung dengan NPPN. Jadi ini merupakan opsi terakhir, ketika kepercayaan menurut sistem self-assessment tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Lalu apakah karyawan/pegawai perlu khawatir?
Tidak perlu karena bukan sasaran. WP karyawan cukup menyimpan bukti penerimaan penghasilan/bukti pemotongan pajak yang diterima, bukti-bukti kepemilikan aset atau hutang.
Jadi tidak benar bahwa petugas pajak akan meneliti, mencari-cari kesalahan, atau menggunakan PMK ini untuk menyisir objek pajak baru.
Langkah apa yang harus diantisipasi wajib pajak?
Sesuai UU, jika wajib, maka selenggarakan pembukuan/pencatatan yang baik sesuai ketentuan. Simpan seluruh dokumen/bukti. Hitung pajak dengan benar dan bayar kewajiban sesuai perhitungan, dan laporkan ke kantor pajak. Niscaya kita menjadi wajib pajak patuh yang tak perlu takut, justru harus bangga.
Adakah catatan terhadap PMK-15 ini?
Ada. Terutama frasa “tidak sepenuhnya” di Pasal 1 harus diberi penafsiran yang jelas agar tidak subjektif dan menciptakan ketidakpastian di lapangan. Ini perlu untuk menjamin hak wajib pajak dan menciptakan keadilan dan kepastian hukum.
Wajib Pajak juga sebaiknya diberi hak untuk menguji metode yang digunakan pemeriksa pajak, agar sesuai atau mendekati kondisi yang sebenarnya.
Maka, tak perlu gusar dan khawatir. Tidak ada pajak baru, atau pemungutan yang agresif dan mencari-cari kesalahan. Ini hanya aturan pelaksanaan, yang justru untuk menciptakan kepastian dan keadilan. Mari tetap hidup seperti biasa, belanja, berbisnis, berwisata, dan bercinta, syaratnya sederhana saja, laksanakan kewajiban sebagaimana mestinya.
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)