Selama hampir dua dekade, Indonesia selalu mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara nasional. Pasca bencana besar tahun 2015, berbagai langkah koreksi besar-besaran dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Hasilnya, untuk pertama kali tahun 2016 dan 2017, Indonesia bebas bencana asap secara nasional, dan tidak ada satu haripun asap lintas batas ke negara tetangga.
Mengenai putusan MA terkait gugatan terhadap pemerintah di PN Palangkaraya, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman mengatakan bahwa kasus gugatan tersebut berdasarkan kejadian 2015.
Ruandha menjelaskan bahwa banyak faktor menjadi penyebab Karhutla di 2015, mulai dari jor-joran izin di masa lalu, alih fungsi lahan gambut, lemahnya penegakan hukum, hingga ketidaksiapan pemerintah saat titik api sudah meluas.
”Namun setelah itu berbagai langkah koreksi terus dilakukan secara konsisten. Kebijakan-kebijakan fundamental yang belum pernah ada sebelumnya juga dikeluarkan,” tegasnya.
Sejak 2015 saat Indonesia dilanda karhutla hebat, Menteri LHK telah menerbitkan Surat Edaran 494/2015 yang memerintahkan seluruh pemegang konsesi menghentikan semua kegiatan pembukaan gambut dan pembukaan kanal/drainase yang menyebabkan kekeringan ekosistem gambut. Kemudian terbit PermenLHK P.77/2015 yang mengatur pengambilalihan areal terbakar di konsesi oleh pemerintah.
“Ini pertama kali dilakukan pemerintah, belum pernah ada sebelumnya. Menteri Siti Nurbaya juga menerbitkan peta areal terbakar 2015-2016 dan 2017, ini juga pertama kali dan belum pernah dilakukan sebelumnya,” jelas Ruandha.
Keseriusan menangani Karhutla setelah kejadian tahun 2015, ditunjukkan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan fundamental. Pada Januari 2016, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.01 Tahun 2016 untuk membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Hingga lahirnya PP 57 tahun 2016 tentang tata kelola gambut yang menjadi awal pondasi moratorium pembukaan gambut baru.
”Semua kegiatan di lahan gambut, dilarang secara total. Karena kawasan gambut sangat rentan terbakar dan sulit dipadamkan,” tegas Ruandha.
Terkait 12 tuntutan di PN Palangkara, sebagian besar kata Ruandha saat ini sudah keluar. Seperti PP tentang kriteria Baku Kerusakan mencakup Kerusakan Biomassa, Terumbu Karang, Mangrove, Seagrass dan terakhir Ekosistem Gambut melalui PP. 57 tahun 2016.
PP tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan no. 46 tahun 2017; Peraturan tentang cara Pemulihan fungsi lingkungan, khususnya Ekosistem Gambut juga telah diatur melalui Permen LHK nomor 16 tahun 2017, serta banyak Peraturan Pemerintah lainnya.
”Jadi sebenarnya sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasca karhutla 2015. Alhamdulillah hasilnya kita bisa lihat di 2016 dan 2017, Indonesia berhasil terhindar dari bencana asap secara nasional, setelah hampir 20 tahun terjadi secara rutin,” jelasnya.
Sebelumnya Menteri LHK Siti Nurbaya, dalam pertemuan dengan pejuang lingkungan perempuan se Indonesia, juga pernah blak-blakan menyampaikan langkah koreksi yang telah dilakukan pemerintah di masa Presiden Jokowi.
“Jangan dikira pemerintah tidak ngapa-ngapain. Banyak yang dilakukan dan sedang kami perbaiki,” tegas Siti Nurbaya.
Terkait Karhutla yang sudah hampir dua dekade lamanya, tidak hanya menyengsarakan jutaan rakyat, juga menimbulkan bencana asap yang sampai ke negara tetangga yang membuat malu Indonesia.
“Zaman dulu, sudah kebakaran baru ditangani. Kalau sekarang nggak. Begitu ada hot spot dikontrol terus. Kami pantau terus. Saya tiap pagi dan malam terima laporan, langsung kita selesaikan, kontrol dan selesaikan,” papar Siti Nurbaya.
Kemudian soal lahan gambut yang sempat tidak terurus dengan baik. Pemerintah, kata dia, berusaha membuat tata kelola lahan gambut yang baik untuk manusia dan juga kelestarian alam.
“Itu juga sedang dilakukan koreksi-koreksinya, dengan susah payah, babak belur, mati-matian juga. Saya kira kita semua merasakan,” tambah Siti Nurbaya.
Koreksi yang sedang dilakukan lagi yaitu soal alokasi dan perizinan pemanfaatan tanah dan lahan. Siti Nurbaya menyebut sudah terlalu banyak izin yang diberikan pemerintah terdahulu, jumlahnya mencapai 42 juta ha.
“Dari 42 juta itu lebih dari 90 persen adalah coorporate dan hanya kira-kira hanya 4 persen saja untuk masyarakat dan untuk publik. Publik itu maksudnya untuk infrastruktur dan lain-lain,” ungkap Siti Nurbaya.
Pemberian izin pembukaan lahan yang begitu mudah untuk perusahaan itulah yang kini dikoreksi pemerintah lewat kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Untuk pertama kali sejak Indonesia merdeka, pemerintah juga akhirnya mengakui dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat. “Tidak mudah. Benar-benar tidak gampang, tapi kami sedang koreksikan,” tutur Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya memastikan semua penyelesaian masalah dan pekerjaan rumah diselesaikan secara terbuka sehingga masyarakat bisa mengontrolnya juga.
“Silakan kawan-kawan datang dan ikuti perkembangannya di kementerian hal-hal yang sedang dikerjakan pemerintah,” pungkasnya.
Sumber: https://jpp.go.id
Editor: Eva Ulpiati