Mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, ruang udara kita nampaknya makin penuh sesak dengan kabar-kabar perdebatan, perseteruan, saling sindir, hingga saling menjatuhkan antar pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkontestasi dalam pemilihan orang nomor satu di Republik ini.
Dengan pelbagai cara, masing-masing pendukung mengelu-elukan jagoannya. Ya, pelbagai cara, termasuk dengan menciptakan dan menyebarkan luaskan berita-berita bohong, tidak benar, serta jauh dari data dan fakta sebarnya atau hoax.
Belakangan, publik Indonesia dihebohkan dengan kabar Seniman sekaligus aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet, yang menjadi salah satu Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan sengaja membuat adegan seolah-olah dirinya dianiaya oleh simpatisan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Adegan itu sempat viral sebelum akhirnya ia sendiri mengakui bahwa adegan itu dilakukan secara sengaja untuk men-diskredit-kan Jokowi-Amin.
Beberapa kalangan sempat menghakimi Jokowi-Ma’ruf Amin dengan tuduhan itu, dan menyampaikan tindakan penyerangan tersebut sebagai suatu hal yang biadab dan tidak manusiawi.
Setelah diakui sendiri bahwa kabar itu adalah kebohongan, barulah mereka berbondong-bondong meminta maaf kepada publik, tapi tidak kepada Jokowi.
Wajah perpolitikan kita ternyata masih ditutupi awan hitam kebohongan. Kabar bohong atau hoax masih menjadi strategi utama dalam menjatuhkan lawan dan mengunggulkan kawan.
Thesis itu juga diamini oleh temuan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang melaporkan bahwa 58,70 persen konten hoax merupakan konten yang berbau politik.
selain itu, Facebook juga menjadi media sosial paling sering digunakan untuk mendistribusikan kabar bohong kepada publik dengan presentase 47,83 persen, twitter 12,17 persen dan Whatsapp 11,74 persen.
Sebenarnya, masih maraknya hoax dalam setiap kontestasi politik tidak luput dari peran para aktor-aktornya. Penyebabnya, para elite politik dengan sengaja menggunakan hoax sebagai langkah paling jitu untuk memenangkan sebuah kompetisi politik.
Sekali lagi, hal ini sudah gamblang dicontohkan oleh Ratna Sarumpaet dan Tim Pemenangan Prabowo-Sandi terkait kasus kabar bohong penganiayaan yang dialami oleh Ratna.
Jadi, hoax, kabar bohong dan ujaran kebencian bertaut erat dengan pragmatisme politik yang dianut oleh sebagian politisi kita. Mereka memandang Pemilu hanya sebagai kontestasi dan kompetisi semata, tanpa memiliki kesadaran bahwa tujuan politik adalah untuk menyejahterakan rakyat, memberikan pendidikan politik yang santun dan penuh etika kepada masyarakat luas dan generasi muda.
Edward Antoni, SH, MH
Ketua Bidang Hukum dan Politik Dewan Pimpinan Pusat-Jaringan Kemandirian Nasional (DPP JAMAN)