Jamaninfo.com, Opini – Rasanya, bila ada pasien gagal ginjal putus asa dan tak kuat menanggung derita cobalah tengok kisah Rosidah Aida, mungkin Anda akan mendapat suntikan semangat. Seorang penyintas gagal ginjal yang sudah menjalani hidup lebih dari 15 tahun dengan kondisi ekonomi pas-pas-an, dibarengi kondisi tubuhnya yang sudah mengalami osteoporosis, penuh dengan penderitaan.
Kemarin Minggu (27/5/2023), aku bertemu lagi dengannya di acara seminar awam yang digelar KPCDI. Wajahnya tampak sumringah, senyumnya mengembang ketika menyapa diriku. Ida tampak bahagia bisa menjumpai sobat-sobatnya, mungkin ini yang pertama sejak pandemi Covid-19 melanda dan memisahkan kami semua. Tubuh yang kurus terlihat ringkih, tapi hatinya sedang bahagia. Itulah dasyatnya kekuatan acara bertemu muka sesama pasien cuci darah.
Teringat 5 tahun lalu mungkin lebih, saat Aida dibuli ramai-ramai oleh sesama pasien gagal ginjal di sebuah group facebook. Pasalnya, Aida sering memposting kisah pilunya. Pasien lain di group itu mungkin merasa gerah, bahkan ada yang menuding ia ingin meminta sumbangan.
Tetapi tidak dengan kami yang di KPCDI, menganggap wajar seorang pasien mengeluh. “Mau mengeluh kemana lagi? Tinggal direspon positif pasti pasien tersebut sudah happy. Sesederhana itu sebenarnya, mereka hanya ingin didengar, karena orang-orang yang beruntung sudah tidak ada yang pedul dengannyai. Dengan membuli membuat hatinya akan semakin hancur,” ujar Tony Samosir saat itu.
Lantas KPCDI meminta ibu satu anak itu untuk didatangkan ke acara Kopdar KPCDI yang diadakan di Kemang. Saat itu meminta Pak Hardono untuk menjemput dia dan suaminya yang bernama Black, tinggal di daerah pelosok bernama Cisauk Tangerang.
Sang pasien saat datang di acara itu didapuk untuk bercerita tentang kisah hidupnya. Kami semua kaget dan juga takjub akan semangatnya untuk tetap bertahan hidup.
“Saya mengandung di usia 16 tahun, oleh dokter disuruh menggugurkan karena menderita tekanan darah tinggi. Saya menolak karena ada nyawa dalam kandungan saya, dan itu adalah titipan dari Allah,” ujarnya rilih.
Atas keputusannya tersebut, lantas membuat dirinya menjadi pasien cuci darah. Ia dan suaminya hidup didera kemiskinan, mencari uang dengan susah payah. “Suami saya jualan kopi keliling, kami berdua juga memulung barang bekas yang bisa dijual. Walau sudah berupaya keras paling-paling dapat 30 ribu sehari,” ujarnya dengan tersenyum.
Yang membuat kami tambah terharu, Rosidah harus berjibaku saat cuci darah. Pagi buta dia sudah bersama suaminya membelah jalanan dengan motor pinjamannya. “Berat badanku cuma 30 kg. Agar aku tidak terjatuh dari motor tubuhku diikat dengan tali rafia ke tubuh Black. Jarak Cisauk ke RSCM mencapai 38 km, sangat jauh,” ujarnya dengan susah payah
Rosidah mengalami pengeroposan tulang, punggungnya melengkung, berjalan dengan tertatih-tatih itupun sudah dengan bantuan tongkat. Ia juga mengalami kanker paratiroid, di dinding mulutnya tumbuh daging, hanya membuat susah berbicara dan kesakitan menelan makanan.
Tapi itulah Rosidah, ia tetap semangat menjalani hidup, apalagi ada anaknya bernama Sabilan Muzaira, dengan taruhan nyawa Rosidah memperolehnya. Disela waktu tidak cuci darah, ia masih membantu suaminya mengumpulkan botol plastik bekas untuk ditukar dengan uang. Walau badannya kesakitan, tapi dengan gigih tetap ia jalani.
Dalam dinding fb-nya ia pernah menuliskan kata-kata yang membuat siapa saja membacanya akan tersuntik semangatnya.
“Cara Allah menyayangiku bukan dengan meringankan masalahku, tapi dengan menguatkan hatiku dan jiwaku, sehingga sehebat apapun masalahku akan tetap bertahan dan tidak mudah menyerah,”
“Cara Allah menyayangiku bukan dengan mengurangi beban yang aku pikul,tapi dengan mengokohkan pundakku sehingga aku akan terus mampu memikul amanah yang diberikan kepadaku,”
“Cara Allah menyayangiku mungkin tak memudahkan jalanku menuju sukses,tapi dengan kesulitan yang kelak baru aku sadari bahwa kesulitan itu yang akan membuatku semakin berkesan dan istimewa,” tulisnya.
Ada banyak Rosidah lainnya di lantai 16 di Gedung The Ceo Building (yang kebetulan juga tempat kantor KPCDI) tempat kami menggelar acara seminar awam plus silahturahmi antar penyintas gagal ginjal dan keluarganya. Mereka ada pasien panutan, mereka asyik bersapa dan bercerita dengan pasien lainnya. Sebuah forum sharing yang sangat mengasyikan.
Apalagi diawal acara para peserta mendapat “siraman medis” dari dr. Mirna Nurasri Praptini, Sp,PD-KGH., M.Epid., FINASIM. dan dr. Ni Made Hustrini, Sp.PD-KGH. Para pasien disuguhi pemahaman tentang terapi CAPD dan pola diet makanan yang harus dijalani.
Dalam sesi tanya jawab para peserta begitu antusias mengajukan pertanyaan. Tampak panitia kewalahan karena saking serunya, waktu sudah habis forum masih berjalan, yang membuat panitiamengangakat poster “time is over” kepada moderator. Menurut Meli bagian pendaftaran peserta membludak, walau sudah ditutup pada angka 140 orang, ketika dihitung kepala yang hadir mencapai 160 orang. “Tapi seru kok ujar Risky, salah satu panitia yang merupakan pasien post transplan dari Depok.
Wajah Risky Pahrezi merupakan wajah baru KPCDI saat ini, dimana generasi muda mulai berani tampil dan ujuk gigi, ada ; Vincentius, Ayu, , Yuniawati, Iyan, Arya Putra, Ulus dll (maaf nggak bisa lengkap nyebutnya). Mereka siap menjadi generasi penerus. Ajang kali ini merupakan pembuktiannya, karena mereka yang pegang peranan dalam acara kali ini.
Ciganjur yang ceria ditemani terpaan cahaya mentari
Ditulis oleh : Peter Hari (Sekjen KPCDI)