Jaman, Energi (30/1) – Selama 12 tahun belakangan, target produksi (lifting) minyakdan gas bumi Indonesia tidak tercapai, tetapi di tahun 2016 ini, Pemerintah Indonesia mencatatkan pencapaian lifting di atas target.
Beragam langkah dan strategi digunakan untuk mencatatkan pencapaian yang maksimal dalam target lifting tahun 2017.
Pemerintah Indonesia mencanangkan tahun 2017 sebagai tahun efisiensi dalam segala bidang, salah satunya dalam sektor hulu migas. Efisiensi tersebut melatarbelakangi Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan PeraturanMenteri ESDM No. 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Gross split merupakan pengganti skema kontrak bagi hasil production sharing contract (PSC) yang puluhan tahun sudah digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam skema kontrak bagi hasil migas. Berbeda dengan PSC, dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, gross split menggunakan prinsip pembagian gross produksi tanpa menggunakan mekanisme pengembalian biaya operasi (cost recovery).
Mekanisme pengembalian biaya operasi produksi migas selama ini telah membebani Negara, apalagi Cost Recovery trend-nya relatif meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tahun 2016 ini, Pemerintah menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) sebesar USD 8 miliar.
Realisasinya, cost recovery yang harus dibayar oleh Negara mengalami pembengkakan dari biaya yang sudah dianggarkan, menjadi sebesar USD 13,1 miliar (SKK Migas). Biaya cost recovery yang harus ditanggung oleh Negara nyatanya lebih tinggi dari penerimaan Negara dalam sektor migas, yakni sebesar USD 9,9 miliar (2016).
Belum lagi, upaya penyelewengan dan mark-up terhadap cost recovery yang dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Temuan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa terdapat 7 (tujuh) KKKS yang melakukan praktik mark-up. Bahkan praktik tersebut dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang. Hal-hal itu mengakibatkan kerugian Negara dan mengancam penerimaan Negara.
Penerimaan Negara dari Skema Gross Split
Di dalam Permen ESDM 8/2017, memuat syarat dalam bagi hasil KKS migas, bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap berada di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Maka dari itu, Negara tidak kehilangan kendalinya atas SDA migas dan wilayah kerja, karena penentuan wilayah kerja, penentuan kapasitas produksi dan lifting migas, serta produksisudah ditentukan dan dibagi sejak awal oleh Negara.
Selanjutnya, diatur mengenai modal kegiatan usaha hulu migas yang menyatakan bahwa modal dan resiko seluruh pengusahaan ditanggung oleh kontraktor. Begitu juga dalam kontrak bagi hasilnya, yakni menggunakan mekanisme bagi hasil awal produksi (base split) yang selanjutnya dapat disesuaikan berdasarkan pada komponen variabel dan komponen progresif.
Dengan skema ini, penerimaan migas yang diterima oleh Pemerintah sudah dapat dipastikan karena besaran bagi hasil kontrak sudah ditentukan sejak awal, yakni 57% bagi Pemerintah dan 43% bagi kontraktor untuk minyak bumi, serta 52% bagi Pemerintah dan 48% bagi kontraktor untuk gas bumi.
Penerimaan Negara juga akan didapatkan dari bonus-bonus dan pajak penghasilan yang dibayarkan oleh kontraktor kepada Pemerintah yang berada diluar kontrak bagi hasil tersebut. Negara juga akan mendapatkan penerimaan dari pajak tidak langsung yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Hal-hal lain yang secara tidak langsung akan mempengaruhi penerimaan Negara, dalam hal ini pemerintah daerah dan Pemerintah pusat adalah mengenai kewajiban KKKS yang wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja dari Warga Negara Indonesia. Kontraktor juga berkewajiban untuk memanfaatkan barang jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri.
Pemerintah daerah akan diuntungkan dengan peraturan penawaran hak kelola atau Participating Interest (PI) sebesar 10% pada wilayah kerja minyak dan gas bumi.
Penawaran PI kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau perusahaan perseroan terbatas daerah dilaksanakan melalui skema kerjasama antara BUMD/perusahaan perseroan terbatas daerah dengan KKKS. Mekanisme pembiayaan PI terlebih dulu ditalangi oleh kontraktor tanpa bunga.(*)
* Iwan Dwi Laksono
Ketua Umum Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman)