Foto : Laksma TNI AL Untung Suropati
Jaman.or.id, Maritim (23/6)- SEJAK konsep Poros Maritim Dunia didengungkan akhir tahun lalu, harus diakui definisi dan aplikasinya tidak jelas. Walaupun konsep tersebut telah dijabarkan ke dalam lima pilar – Budaya Maritim, Ekonomi Maritim, Konektivitas Maritim, Diplomasi Maritim, Keamanan Maritim – namun dalam prakteknya penjabarannya masih mengambang sehingga memicu misinterpretasi.
Contohnya, apakah Poros Maritim Dunia merupakan jabaran rencana Presiden Jokowi membangun poros konvensional sebagaimana lazim dalam politik aliansi, keinginan lebih mempertegas kebijakan politik luar negeri, atau tekad presiden selaku panglima tertinggi membangun postur militer berbasis maritim.
Namun pertanyaan terpenting adalah bagaimana konsep tersebut dapat diaplikasi di tengah situasi politik dan ekonomi yang relatif belum stabil. Sementara, di kawasan Indo-Pasifik tengah berlangsung rivalitas hebat antara dua kekuatan utama dunia Amerika Serikat dan China. Walaupun belum mengarah pada terjadinya konflik terbuka, namun ketatnya persaingan mereka langsung maupun tidak langsung berdampak pada ketidakstabilan sistem kehidupan nasional kita.
Terlepas dari bagaimanapun konsep Poros Maritim Dunia dipahami, yang pasti hari ini kita menyaksikan konsep tersebut hanya terfokus pada pilar ke-2 (Ekonomi Maritim) dan pilar ke-3 (Konektivitas Maritim). Gempita pembangunan tol laut adalah salah satunya. Sementara, ketiga pilar Poros Maritim Dunia yang lain, yaitu Budaya Maritim, Diplomasi Maritim, dan Keamanan Maritim masih belum jelas ke mana arahnya.
Padahal, dengan melihat maksud dan tujuannya, konsep Poros Maritim Dunia harusnya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah grand strategy yang mencakup multi-bidang pembangunan, yang karena kita bangsa maritim, bertumpu pada budaya maritim.
Selain merupakan jalur perdagangan tersibuk di dunia, secara geografis perairaran Indonesia menempati 2/3 atau bagian terbesar dari seluruh bentang wilayah perairan Asia Tenggara. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Indonesia perlu me-rethinking kebijakan pertahanannya. Kenapa? Karena bagaimanapun seluruh bentang wilayah perairan di luar ZEE pada dasarnya merupakan sphere of interest sekaligus the first line of defense sistem pertahanan negara kita. Intinya, sebagai pemimpin alamiah kawasan, Indonesia harus mampu dan lebih pro-aktif memainkan perannya.
Seiring dengan fenomena pergeseran pusat gravitasi politik dan ekonomi dunia dari Atlantik menuju Pasifik, banyak negara dituntut mengubah strategi nasionalnya. Merasa kebangkitan China mengancam dominasinya, tahun 2012 Amerika Serikat meluncurkan strategi barunya Rebalancing to Asia. Sebaliknya, didorong ambisi ingin terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengaruhnya, China mengandalkan konsep Jalan Sutra Maritim Abad XXI yang diluncurkan akhir tahun 2013.
Dalam lima tahun terakhir kita menyaksikan rivalitas kedua negara semakin masif dan vulgar. Bermodal kemampuan ekonomi, dan militernya yang hebat Amerika Serikat tampak rajin menawarkan program bantuan dan kerja sama militer dengan negara-negara sekeliling China. Negeri Paman Sam juga terlihat antusias mendorong kerja sama ekonomi dan investasi Trans Pacific Partnership dengan 12 negara yang lebih berkiblat ke Washington.
Pada saat yang sama, dengan otot militernya yang semakin kuat China berupaya melindungi jalur-jalur perdagangannya. China juga berusaha merangkul negara-negara sepanjang Jalur Sutra bekerja sama membangun pelabuhan-pelabuhan besar (deep seaport) yang sewaktu-waktu dapat dialih fungsi menjadi pangkalan militer. Upaya melawan kepungan Amerika Serikat juga terlihat dengan gencarnya negeri Tirai Bambu menawarkan banyak program kerja sama ekonomi dengan negara-negara yang vital bagi kepentingannya, antara lain Indonesia.
Menyadari realitas di atas, maka konsep Poros Maritim Dunia harus disusun dan didesain sedemikian rupa sehingga applicable sekaligus adaptable dengan perkembangan lingkungan strategis kawasan. Dalam konteks rivalitas dua adidaya, pemegang kartu penting tiada lain sejatinya Indonesia. Kenapa? Karena secara geografis Indonesia berada tepat di tengah medan pertarungan.
Berdasar teori ahli strategi maritim Alfred T. Mahan, Indonesia bahkan memenuhi seluruh prasyarat untuk bangkit menjadi negara maritim hebat. Di sinilah Indonesia dituntut piawai dalam memainkan kartunya sehingga gagasan ingin membangun Poros Maritim Dunia dapat terwujud.
Pertama, untuk jangka pendek, Indonesia dituntut untuk lebih proaktif menginisiasi peningkatan soliditas ASEAN yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami kekurangharmonisan akibat sengketa wilayah di Laut China Selatan.
Mengingat beragamnya latar belakang dan kepentingan, namun dengan metoda dan teknik pendekatan yang tepat, bukan tidak mungkin soliditas sekaligus solidaritas sesama ASEAN akan kembali terwujud. Demikian pula untuk non ASEAN, khususnya negara-negara yang secara tradisional memiliki hubungan perdagangan yang erat.
Kedua, untuk jangka panjang, Indonesia mutlak perlu meningkatkan kemampuan militernya. Ini penting karena dengan militer yang kuat, maka posisi tawar akan meningkat. Sebagai pemimpin alamiah kawasan, Indonesia dituntut mampu memainkan perannya sebagai penjamin rasa aman bagi para tetangganya, khususnya negara-negara yang tertekan terkait klaim wilayah di Laut China Selatan. Langkah ini sekaligus untuk mencegah hadirnya kekuatan asing yang tidak diperlukan guna menjamin stabilitas kawasan.
Ketiga, optimalisasi reformasi birokrasi, termasuk berbagai aturan yang menghambat investasi. Walaupun saat ini cukup banyak tawaran investasi pembangunan infrastruktur khususnya dari China, namun itu saja belum cukup. Indonesia harus lebih memacu peningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam rangka lebih memacu daya saing. Special Economic Zone ala China yang di negaranya terbukti sangat efektif, mungkin bisa dijadikan role model untuk diterapkan.
Sudah saatnya Indonesia meraih kembali masa kejayaannya sebagai bangsa maritim. Jalesveva Jayamahe! [***]
Penulis adalah Alumnus US Naval War College 2009 dan Pengajar di Lemhanas