Menteri Keuangan mengumumkan paket kebijakan terbaru yaitu percepatan restitusi (pengembalian kelebihan bayar pajak) dan pemeriksaan bersama Hulu Migas. Paket ini menyusul inisiatif sebelumnya yaitu rencana revisi PP Nomor 46/2013 yang menurunkan tarif pajak UKM dari 1% menjadi 0,5%.
Kami mengapresiasi serangkaian kebijakan yang menunjukkan komitmen dan kepedulian Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu, Ditjen Pajak, dan BKF, dalam merespon kebutuhan publik dan menjalankan peran sebagai regulator di tengah situasi perekonomian nasional yang sedang bergeliat bangkit.
Kebijakan ini sangat dinantikan para pelaku usaha termasuk wajib pajak karyawan yang selama ini harus menjalani proses pemeriksaan pajak sebelum mendapatkan pengembalian. Meski proses ini didasarkan pada UU Perpajakan, namun dalam praktiknya tidak efektif dan cenderung memberatkan baik bagi wajib pajak maupun Ditjen Pajak.
Proses pemeriksaan yang memakan waktu cukup lama dengan tata cara baku yang harus dilalui berpotensi meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost) bagi wajib pajak dan biaya administrasi (administration cost) bagi Ditjen Pajak. Energi yang seharusnya dapat diarahkan untuk memeriksa wajib pajak yang lebih potensial seperti SPT berstatus kurang bayar, terkuras habis.
Pemeriksaan yang cukup rumit dan panjang juga berisiko menurunkan tingkat kepatuhan karena banyak wajib pajak yang menghindari proses pemeriksaan dengan memilih tidak mengajukan klaim restitusi. Jangan sampai hal-hal prosedural menjadi disinsentif bagi wajib pajak. Tak perlu dipertahankan adagium lama dalam birokrasi “sepanjang bisa dipersulit, kenapa dipermudah. Sejauh bisa menjadi kurang bayar, buat apa harus dikembalikan.”
Percepatan restitusi juga berarti mendorong perbaikan cashflow wajib pajak yang pada gilirannya juga mendorong kinerja dan pertumbuhan ekonomi. Meski indeks kemudahan berbisnis akan membaik, seyogianya hal ini bukan dijadikan ukuran bagi kinerja.
Paradigma institusi yang melayani dengan prima perlu dijadikan budaya baru sehingga mendorong kepatuhan sukarela. Maka PMK yang baru perlu mengatur secara tegas dan jelas, termasuk menyediakan kriteria dan standar bagi pelaksanaan di lapangan agar tercipta kepastian. Juga jangan sampai terjadi penumpukan beban pekerjaan tambahan pada fungsi-fungsi tertentu di internal Ditjen Pajak.
Di sisi lain, efektivitas dan kewenangan otoritas pajak melakukan pemeriksaan untuk memastikan wajib pajak melaksanakan kewajiban pajak dengan baik dan benar, harus terus didukung dan dijamin. Jika hak-hak wajib pajak sudah secara fair diberikan, tidak ada alasan untuk melekatkan stigma ‘bikin gaduh’ bagi tiap tindakan penegakan hukum yang terukur. Justru penegakan hukum yang terukur dapat menjadi sarana menjamin fairness dan memenuhi rasa keadilan publik.
Kini, upaya membangun Compliance Risk Management (CRM) sebagai dasar pemeriksaan berbasis risiko dan pengembangan Core Tax System wajib didukung Presiden dan DPR, juga seluruh pemangku kepentingan. Melalui reformasi administrasi ini, pemeriksaan pajak akan lebih terukur, tepat sasaran, berdampak besar pada kepatuhan, dan berkontribusi pada peningkatan penerimaan pajak.
Di samping itu, masih lemahnya kedudukan Ditjen Pajak dalam tata hubungan kelembagaan antarpenegak hukum perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari Presiden dan DPR. Kriminalisasi terhadap para petugas pajak yang menjalankan tugas sesuai UU harus dihentikan.
Perlu payung hukum yang menjamin dan memastikan adanya koordinasi dan sinergi kelembagaan yang baik, jangan sampai niat baik mempercepat restitusi justru dianggap sebagai tindakan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Maka Perpres Perlindungan Hukum perlu segera diterbitkan agar menjadi dasar hukum.
Percepatan restitusi ini adalah langkah awal yang baik yang perlu dikawal dan diuji konsistensinya dalam pelaksanaan. Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan yang menginginkan sistem perpajakan yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berpemerataan bahu-membahu membantu dan bekerjasama.
Jika otoritas pajak saja bersedia melepaskan sebagian kewenangan yang dimiliki demi kepentingan bangsa yang lebih besar, tentu saja tidak keliru jika kita menuntut komitmen dari seluruh wajib pajak untuk berlomba menjadi wajib pajak patuh–termasuk revisi target penerimaan pajak yang lebih moderat agar kita dapat bernafas lebih longgar.
Yustinus Prastowo
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)