Home Opini Iji Jaelani JAMAN : Solusi Macetnya Politik Nasional

Iji Jaelani JAMAN : Solusi Macetnya Politik Nasional

622
0
SHARE

Oleh : Iji Jaelani

Dalam demokrasi yang terjadi sekarang ini, kebebasan berekspresi di ruang politik adalah keniscayaan yang tidak boleh dilanggar. Melanggar kebebasan berekspresi dimaknai sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi itu sendiri karena suara demokrasi adalah suara rakyat. Begitu pun sebaliknya, rezim yang memasung kebebasan berekspresi dinilai sebagai rezim yang diktator, fasis, atau pun otoriter. 

Sebagai bentuk kebebasan berdemokrasi, saluran apapun boleh digunakan dalam menyuarakan aspirasinya, baik agama, budaya, media, maupun lembaga partai politik itu sendiri sebagai topangan utama demokrasi. Begitu pun pihak yang bisa menyuarakan aspirasinya boleh dilakukan oleh siapapun, baik perorangan, kelompok atas nama apapun. Begitu pula bentuk aspirasi boleh dilakukan dengan cara apapun, baik kritikan, masukan, petisi, somasi, dan gugatan hukum. Maka, tidak heran jika sekarang bermunculan kasus lapor melaporkan atas perbuatan tidak menyenangkan.

Kasus yang paling menyedot emosi massa dan sistem pemerintahan sekarang ini misalnya adalah dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama dan polemik pendirian khilafah Islamiah oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Pada kasus kedua merupakan quo vadis ekspresi agama di negara demokrasi, di mana atas nama demokrasi HTI menyuarakan khilafah mengganti NKRI dan demokrasi itu sendiri.

Membongkar Akar Masalah: Demokrasi itu Sendiri Bermasalah

Atas nama demokrasi, kasus dugaan penistaan itu terjadi hingga aksi berjilid jilid dan aksi tandingan yang serupa. Atas nama demokrasi pula HTI mengutuk demokrasi. Rasionalitas semacam itu dalam mencapai tujuan tentu sah sah saja, terlebih di era teknologi, rasio hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Rasionalitas instrumentalitas merupakan merupakan bagian dari sistem industialisasi, anak kandung kapitalisme, dan tentunya demokrasi itu sendiri yang menjadi masalah: demokrasi liberal! Untuk mencapai tujuan politik, seseorang boleh menggunakan media apapun, baik agama, media, budaya, serta boleh dengan cara apapun, baik sentimen suku, agama, ras, dan antar golongan. Dengan demikian, maka muculnya gerakan gerakan keagamaan dan gerakan gerakan politik seperti di atas jelas bagian dari skema demokrasi liberal itu sendiri yang dijalankan oleh pihak pihak yang berkepentingan.

Karena logika instrumental tersebut dan karena demokrasi liberal tersebut, memutar balikkan masalah pokok dan masalah tidak pokok, menukar posisi yang sakral menjadi profan dan yang profan menjadi sakral adalah sesuatu yang boleh dilakukan untuk mewujudkan tujuan. Begitu pula menukar instrumen menjadi tujuan dan tujuan menjadi instrumen adalah sewuatu yang dipandang wajar. Maka, tidak heran jika atas dasar ambisi politik seseorang atau sekelompok orang menggunakan cara politik yang rasis dan sektarian. 

Begitu pula menjadikan agama sebagai partai politik dan partai politik sebagai agama adalah fenomena yang seringkali terjadi. Agama yang sakral ditukar menjadi instrumen politik, begitu pula partai politik sebagi instrumen dijadikan nilai yang sakral layaknya agama. Pada titik ini, agama menjadi tirani dan partai politik menjadi oligarki.

Pada hakikatnya, issue populisme politik adalah gerakan sosial untuk mencari jalan keluar atas masalah kemiskinan, penguatan civilization, dan keadilan sosial, masalah-masalah pokok masyarakat. Jika terdapat issue yang muncul keluar dari masalah pokok masyarakat maka issue tersebut merupakan issue elitisme yang dimainkan oleh segelintir orang.

Fenomena menguatnya issue elit adalah skema bubble politik (gelembung politik), yakni masalah yang mengembang tapi tidak pokok, hampa seperti gelembung di permukaan.  Sejatinya, bubble politik merupakan ekses dari demokrasi liberal karena kebebasan beragama dan kebebasan berpartai politik menemui kebuntuan dalam menuntaskan persoalannya masing masing. Agama sebagai jalan  keselamatan dan spirit perdamaian dan perubahan sudah lumpuh dan kehilangan fungsinya, diganti menjadi komoditas politik. Begitu pula partai politik sering menggoda agama untuk meraih kekuasaan, bukan mengambil spirit keagamaan untuk mendorong percepatan perubahan. 

Di tengah tempaan pusaran demokrasi neoliberal, sosio-ekonomi masyarakat Indonesia masih menyisakan sisa-sisa feodal dan kolonial. Feodalisme menandakan adanya sistem kapitalis birokrat, yakni kaum birokrat yang mencari rente dari kekuasaan, bukan dari bisnis seperti kapitalis sehingga menyebabkan banyak pejabat yang korup dari pusat hingga daerah, preman preman berjubah, dan ormas preman yang fasis.

Pun pada sisa kolonial, Indonesia tidak sempurna menjadi negara kapitalisme dalam persaingan pasar sehingga lebih cocok disebut pasar ketimbang produsen. Kenyataan ini memunculkan mentalitas konsumtif ketimbang produktif di tengah kepungan perusahaan multi nasional. Pada sisi mentalitas, penjajahan atas fisik dan mental bangsa Indonesia selama 3,5 abad menyiskan sikap rendah diri. Faktanya, menggunakan simbol Barat dan Arab lebih bangga ketimbang jati diri bangsa sendiri. Konsumerisme, westernisasi, arabisme, dan inferiorisme merupakan kebanggan bangsa yang tidak percaya pada martabat bangsa sendiri. 

Bagaimana Jalan Keluar dari Demokrasi Liberal Sekarang Ini

Di tengah kepungan musuh bersama itu, kemajuan dalam sosio-ekonomi politik adalah dengan cara memajukan prinsip berdemokrasi, yakni berdaulat, berdikari, berkepribadian sebagai bangsa Indonesia. Kesemuanya itu bisa dicapai jika bangsa Indonesia bisa percaya pada kemampuan diri sendiri, memutus ketergantungan pada bangsa lain, dan membangun jaringan kemandirian tersebut dalam skala yang lebih luas secara nasional. 

Berdaulat adalah tidak adanya kekuasaan yang lebih tinggi di atas negara. Berdaulat adalah percaya pada kekuatan negara atas kekuasan korporasi dan kepentingan asing. Pada skala mikro, berdaulat adalah negara tidak takut atas segala macam intimidasi, diskriminasi, korupsi, dan ekstrimisme. Berdikari adalah mampu berdiri di atas kaki sendiri tanpa ketergantungan pihak lain. Dalam skala makro, berdikari adalah tumbuhnya BUMN dan industri nasional yang sehat, menguatnya masayarakat sipil, meratanya pembangunan ekonomi di semua lini, dan percayanya negara pada kekuatan masyarkat sendiri ketimbang impor. Pada skala mikro, berdikari ialah tumbuhnya agroindustri dan ekonomi kreatif, dan pendeknya saluran distribusi hingga harga murah bisa dinikmati semua. Adapun berkepribadian adalah tumbuhnya spirit budaya lokal yang dikonversi menjadi budaya nasional, muculnya sikap terbuka terhadap segala jenis perubaan, hilangnya mentalitas pejabat pengejar rente dari jabatannya, dan hadirnya budaya pendidikan maju dan mencerahkan di semua sektor. Sikap-sikap seperti di atas perlu diintervensi di semua stake holder menjadi sebuah kebijakan strategis. Jika itu terjadi, maka kemacetan kemacetan politik seperti di atas tidak akan mendapat tempat di bumi Indonesia. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here