Ketidakpastian ekonomi global nampaknya semakin menggejolak. Faktor politik, perang dagang (AS-China, AS-Eropa, Turki) juga kebijakan proteksionisme AS dan naiknya suku bunga acuan The Fed telah menciptakan gelombang tekanan kuat yang berdampak pada depresiasi mata uang di banyak negara berkembang (emerging market) seperti Turki, Venezuela, Brazil, Argentina, Meksiko, Iran, Rusia, dan Indonesia.
Setelah berhari-hari tertekan oleh dolar AS, rupiah sedikit bangkit menjauh dari zona mendekati Rp 15.000 per dolar AS. Pada hari Kamis (6/9/2018) menunjukkan rupiah menguat ke posisi Rp 14.875 per dolar AS, dari posisi terendah Rp 14.989 per dolar AS pada Senin (3/9/2018). Kurs yang mengacu pada Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Kamis (6/9/2018) rupiah berada di level Rp 14.891 per dolar AS.
Setidaknya Bank Indonesia telah menggelontorkan dana Rp 11,9 triliun hingga hari Rabu (5/9/2018) untuk mempertahankan nilai tukar rupiah yang terus melemah. Langkah stabilisasi itu antara lain dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing hingga membeli surat berharga negara di pasar sekunder.
Selain intervensi di pasar valuta asing dan pasar sekunder, beberapa kebijakan moneter telah dan akan disiapkan untuk mengantisipasi tekanan eksternal, antara lain: Pertama, suku bunga sudah dinaikkan oleh BI sebanyak lima kali sejak Mei dan mencapai 5,5 persen.
Kedua, sejak akhir Desember 2017 BI telah mengintroduksi kebijakan “Local Currency Settlement Framework” sebagai jalan mengatasi kebutuhan akan dolar AS. Indonesia, Thailand dan Malaysia telah melakukan kerjasama perdagangan berbasis mata uang masing-masing tanpa melalui dolar AS. Thailand dan Malaysia termasuk dalam sepuluh besar mitra dagang utama Indonesia.
Konsepsi ini juga tengah diupayakan untuk dapat diimplementasikan secara meluas. BI tengah melobi China dan Jepang. Ketiga, BI dan OJK akan mengawasi ketat aksi para spekulan dan memperketat pasar valas.
BI juga telah menghimbau pada korporasi yang memiliki stok valas besar supaya segera menjualnya ke pasar. Keempat, BI telah memberikan fasilitas swap atau lindung nilai bagi para pelaku usaha baik eksportir maupun importir terkait kebutuhan mereka akan dolar AS. Kelima, BI tengah menyiapkan mekanisme untuk mendorong konversi DHE (Dana Hasil Ekspor).
Sedangkan terkait kebijakan fiskal, pemerintah telah memberlakukan aturan antara lain: Pertama, kebijakan menggenjot ekspor atau sektor riil untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan. Untuk itu pemerintah telah memberikan insentif tax holiday. Selain itu, pemerintah memberikan fasilitas Kemudahan Impor Untuk Tujuan Ekspor (KITE).
Kedua, kebijakan penerapan tarif pajak penghasilan (PPh) pada 900 produk impor khususnya pada produk yang substitusinya sudah tersedia. Beleid PMK terkait 900 item produk impor saat ini tengah disusun. Kedua, menerapkan kewajiban mencampur 20 persen biodiesel pada solar (B20).
Ketiga, menimbang untuk menghentikan proyek infrastruktur strategis yang mengandung komponen impor tinggi, sekaligus mengevaluasi sejauh mana penggunaan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri).
Keempat, Kementerian ESDM hendak mengeluarkan kebijakan untuk mengatur DHE (Dana Hasil Ekspor) pada sektor ekspor migas dan minerba di mana secara prosedural ke depan harus melalui Letter of Credit yang mekanisme-nya diatur oleh BI.
Selain itu, pada sektor migas terkait ekspor minyak mentah yang dimiliki oleh kontraktor asing, Kementerian ESDM hendak mengatur supaya minyak mentah itu ditawarkan ke Pertamina terlebih dulu. Kelima, menggalakan sektor pariwisata secara intensif untuk mendorong peningkatan jumlah wisatawan asing.
Sejauh mana efektivitas dari seluruh kebijakan moneter dan fiskal tersebut di atas akan berhasil membangun stabiltas kurs rupiah terhadap dolar AS di tengah-tengah situasi gejolak ekonomi global? Itulah pertanyaan mendasar publik.
Selain itu, pertanyaan tentang berapakah nilai kurs rupiah ke depan, apakah asumsi nilai tukar rupiah Rp14.400/USD di RAPBN 2019 hendak dikoreksi. Juga terkait asumsi makro ekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi yaitu 5,3%, inflasi 3,5%, dan lain sebagainya, apakah sejalan dengan depresiasi rupiah pun akan dikoreksi.
Selain itu, tentu akan sangat menarik sekiranya konsepsi Local Currency Settlement Framework dapat didorong sebagai salah satu narasi kuat untuk menunjukkan keseriusan pemerintah mengatasi ketergantungan pada kurs mata uang dolar AS sebagai instrumen pembayaran di tingkat global.
Sumber: https://jpp.go.id