Home Opini Gubernur Baru dan Perjuangan Tanah Rakyat

Gubernur Baru dan Perjuangan Tanah Rakyat

187
0
SHARE

Oleh Iwan Dwi Laksono (Ketua Umum  Jaringan Kemandirian Nasioanal)

Berdasarkan catatan yang dikeluarkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta, sepanjang tahun 2016, penggusuran di Jakartamencapai 193 kasus. Terdapat 5.726 keluarga dan 5.379 unit usaha yang tersasar.

Penggusuran ini tersebar di beberapa titik: Jakarta Utara terdapat 35 lokasi, Jakarta Timur terdapat 23 lokasi, Jakarta Pusat terdapat 55 lokasi, Jakarta Barat terdapat 41 lokasi dan Jakarta Selatan terdapat 39 lokasi.

Hal ini menunjukkan bahwa hingga saat ini hak mendasar rakyat, yakni hak atas tanah belum dapat terpenuhi. Padahal, hak rakyat atas tanah telah dijamin oleh pasal 33 UUD 1945. Selain itu, hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan layak diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Hak rakyat untuk mendapatkan tempat tinggal dan lingkungan yang baik diatur dalam pasal 28H ayat 1 UUD 1945. 

Dalam banyak kasusnya, penggusuran dan perampasan atas tanah digunakan untuk melayani kepentingan modal yang lebih besar. Situasi ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi politik yang cenderung kapitalistik.

 
Didalam kapitalisme, yang berlaku dalam setiap unsurnya adalah logika kapital. Dan bagi kapital itu sendiri, manusia dan alam hanya digunakan untuk memperoleh keuntungan semata tanpa mengedal kebangsaan, nasionalisme, budaya dan nilai nilai kekeluargaan. Yang ada hanya Konspirasi & Kooperasi Kapital, Kapital dan Kapital an sich 

Perjuangan Mempertahankan Tanah

Proses perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan tanahnya telah berlangsung sejak lama. Rakyat berhasil merebut kepemilikan haknya atas tanah, baik hak milik atas tanah, hak guna atas nahah, hak ekonomi atas tanah serta kepemilikan hak negara atas tanah baik untuk kepentingan rakyat, bangsa dan utk hak atas kedaulatan negara dan diperjuangkan  selama tiga setengah abad dari perjanjian dagang yg timpang dgn , penguasa feodal, VOC, EIC ,dan juga dr  kolonialisme multilateral.
 Masyarakat Indonesia merupakan manusia merdeka yang berhak atas tanahnya. 

Jangan terjadi kolonialisme  internal oleh bamgsa semdiri terhadap bangsa sendiri.

Namun, perjuangan itu juga mengalami pasang surut dalam masa kemerdekaan ini lantaran kebijakan agraria yang masih belum berpihak kepada rakyat. Sampai hari ini masih banyak konflik agraria yang melibatkan kepentingan rakyat. 

Banyak dari konflik tersebut rakyat langsung bersinggungan dengan kepentingan modal, baik kepentingan modal domestik yang serakah mengesampingkan hak hidup, ruang hidup dan hak-ruang budaya masyarakat lokal dan terlebih lagi dan diutamakan antisipasi atas keserakahan dan penjajahan  oleh modal asing. Tanah yang seharusnya difungsikan sebagai pemukiman dan lahan penghidupan bagi rakyat digusur dan dirampas oleh kepentingan segelintir pemodal. 

Pada awal masa kemerdekaan, Indonesia telah berusaha merumuskan peraturan mengenai agraria guna mengganti undang-undang agraria yang dibuat oleh kolonial. Pemerintah Indonesia pada saat itu mengeluarkan UU No. 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Ada upaya mentransformasikan tanah milik tuan tanah kepada rakyat.

Selanjutnya, muncul Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang menjadi titik awal lahirnya hukum pertanahan yang menggantikan hukum agraria kolonial. UU ini menjadi dasar bagi pemerataan penggunaan tanah, pembatasan penguasaan tanah, hak rakyat atas tanah, dan pengakuan hukum adat. 

Namun, seiring berjalannya waktu, pelaksanaan UUPA terhambat oleh administrasi yang buruk, korupsi, dan perlawanan dari para tuan tanah yang merasa terganggu dengan program tersebut maupun rakyat kolaborator kolonialisme terintegrasi Agraria, Ruang dan Sumber Daya Terkandung.

Saatnya sadar akan “Reformasi Ter-Integrasi  Agraria, Ruang dan Sumber Daya Terkandung” Agraria, Ruang Agraria Ruang Bahari, meliputi Lahan Pesisir, Garis Pantai, Pulau Kecil, Lahan Perbatasan dan  juga Ruang Udara Agraria Ruang Udara Bahari-Ruang bawah Permukaan.

Sekali lagi, “Reformasi Ter Integrasi Agraria, Ruang dan Sumber Daya Terkandung”  ”

Pentingnya Rakyat Mengorganisasikan Diri

Sejak jaman pergerakan anti-kolonial, organisasi menjadi alat paling penting dalam membangun kesadaran dan memobilisasi rakyat. Organisasi terbukti mampu mengumpulkan rasa papa sengsara senasib sepenanggungan akibat kolonialisme.

Persatuan rakyat mampu menjadi palu godam yang ampuh dalam melawan dan merebut kembali kemerdekaan. Rakyat kembali dapat mengelola dan menikmati tanahnya sendiri.

Sama halnya dengan perjuangan rakyat dalam mempertahankan tanahnya saat ini. Rakyat perlu mengorganisasikan diri agar perjuangan tersebut dapat tercapai. 

Kesengsaraan bersama akibat perampasan dan penggusuran adalah alasan utama bersatunya kekuatan rakyat dalam melawan dan merebut kembali hak atas tanahnya.

Tanpa perjuangan bersama melalui organisasi rakyat, perjuangan akan susah digapai. Karena Perjuangan sendiri-sendiri tidak akan berdampak apapun.

Tugas Gubernur Baru DKI Jakarta

Di dalam Nawacita kelima, Presiden Joko Widodo mendorong adanya reformasi agraria dan program kepemilikan tanah 9 hektar untuk rakyat miskin. Selanjutnya, Presiden juga mengeluarkan program terobosan dengan melakukan pembagian tanah seluas 21,7 hektar melalui program reforma agraria dan perhutanan sosial. 

Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin. Program tersebut juga diharapkan mampu meningkatkan produktivitas rakyat. Presiden menginginkan penataan kembali kepemilikan tanah dan akses masyarakat dalam pengelolaan tanah. 

Program yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sudah seharusnya ditindaklanjuti dan diakselerasikan oleh para pemimpin ditingkatan daerah. Kepala daerah harus memastikan bahwa tanah dan lahan mampu dimaksimalkan untuk mengatasi ketimpangan dan peningkatan produktivitas rakyat. 

Begitu juga dengan Gubernur Baru DKI Jakarta saat ini, jangan sampai menggunakan penggusuran sebagai jalan pintas dalam melakukan pembangunan daerahnya. Penggusuran terhadap rakyat miskin, apalagi disertai dengan solusi yang tidak manusiawi, sesungguhnya bertentangan dengan semangat konstitusi bangsa Indonesia.

 
Pemerintahan DKI Jakarta ke depan jangan sampai menggunakan model pembangunan yang menyingkirkan rakyat miskin maupun hak kepemilikan yg sah oleh rakyat dari kelas sosial manapun.(red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here