Dalam rangka Bulan Pancasila tahun 2018 ini, Lola Amaria Production menggarap film yang berjudul LIMA. Film tersebut mengangkat tema Pancasila, keberagaman dan kebhinekaan bangsa Indonesia.
Hanya saja, film ini hanya mendapatkan status untuk 17 tahun ke atas dari Lembaga Sensor Film (LSF). Padahal, film yang diproduseri oleh Lola Amaria itu diklaim memiliki misi kebangsaan yaitu menanamkan nilai Pancasila kepada generasi muda sejak dini.
Berkaitan dengan hal itu, Produser Film LIMA, Lola Amaria, dalam keterangan resminya menjelaskan, penggarapan film ini sebenarnya bertujuan agar ditonton oleh sebanyak mungkin penonton dari pelbagai usia dan kalangan.
“Kami memberikan apresiasi dan ungkapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang menantikan Launching dari Film LIMA dengan antusias dan ingin melibatkan sebanyak mungkin penonton dari berbagai umur dan kalangan untuk menikmati film ini dalam rangkaian Bulan Pancasila 2018,” katanya di Jakarta, Jumat (25/5).
Lola menjelaskan, Film LIMA diproduksi mulai bulan Agustus 2017. Sejak awal film ini diproduksi sebagai inisiatif dan kontribusi gabungan elemen masyarakat dengan para sineas muda untuk menghadirkan Film layar lebar dengan narasi positif yang terinspirasi dari Pancasila.
“Film LIMA adalah persembahan kami kepada generasi muda Indonesia dalam rangkaian peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018,” ujarnya.
Ia mengaku, dalam menuangkan inspirasi Pancasila ke dalam film tersebut tidak mudah. “Dengan dukungan masyarakat dan kreatifitas 5 sutradara berbakat yang masing-masing fokus mengerjakan 1 Sila yang kemudian dijahit menjadi 1 cerita utuh gabungan dari ke 5 Sila, terwujudlah film LIMA,” tandasnya.
Lola menuturkan, Film LIMA menceritakan pergulatan keluarga Indonesia dengan beragam persoalan mengenai keberagaman, aturan agama, dilema pekerjaan, bullying, hingga pertanyaan mengenai masih adanya keadilan atau tidak untuk orang yang terpinggirkan.
“Pada akhirnya, keluarga campur sari ini sadar untuk perlu kembali ke lima hal paling dasar yang menjadi akar mereka: Tuhan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan,” tutur Lola.
Lola juga menegaskan bahwa cerita drama film tersebut diangkat dari pelbagai kejadian nyata yang ada di sekitar. “Kemudian dirangkai dalam sebuah cerita dan dituangkan dalam film LIMA,” tegasnya.
Ia menyeritakan, Senin (21/5) lalu, Tim dari Lola Amalia Productions didampingi tim ahli menghadiri audiensi dengan LSF. Lola mengklaim, LSF sangat mengapresiasi misi progresif dari film LIMA tersebut.
“Tapi tim LSF meminta Produser dapat melakukan revisi khusus pada adegan Sila 1 karena dikhawatirkan berpotensi memunculkan kontroversi di masyarakat,” kata dia.
“Perdebatan konstruktif dan alot berlangsung selama 3 jam. Kedua belah pihak saling memberikan opini dan alibi (salah satunya dengan mendengarkan pendapat dari para kyai dan ahli), untuk memastikan film ini tidak memicu kontroversi,” jelas Lola.
Menurut Lola, dalam audiensi tersebut, LSF akhirnya memutuskan untuk memberikan persetujuan lolos sensor dengan usia penonton 17 tahun keatas. Pasalnya, pemahaman Sila 1 hanya dapat di cerna oleh penonton diatas 17 tahun.
“Tim Produser Film LIMA mencoba melakukan negosiasi untuk meminta usia tayang mulai 13 tahun. Dengan alasan film ini memiliki misi Kebangsaan yaitu untuk menanamkan nilai Pancasila kepada generasi muda sejak dini. Keputusan Lembaga Sensor Film tetap pada usia 17 tahun, dan mensyaratkan jika ingin diberikan izin usia tayang 13 tahun maka tim Produser harus melakukan revisi dengan menghilangkan bagian tertentu dalam Sila 1,” paparnya.
Lola menerangkan, Film LIMA merupakan Drama Realis ( inspired by true event) yang terinspirasi dari kejadian nyata di masyarakat yang dituangkan dalam sebuah karya film. Sehingga produser bertanggung jawab penuh atas keseluruhan isi film.
“Kami mengharapkan bimbingan, arahan dan dukungan bersama untuk dapat mendiskusikan masukan masukan dari berbagai elemen masyarakat dan mencari solusi terbaik untuk semua pihak, dengan tetap tanpa kompromi mempertahankan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945,” terangnya.
Reporter: Eko “Gajah”