Kementerian Perindustrian menampik tudingan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi. Pasalnya, investasi sektor manufaktur dari dalam dan luar negeri masih agresif sehingga jumlah pabrikan terus tumbuh dan terjadi peningkatan pada penyerapan tenaga kerja.
“Kami optimistis, sektor industri masih dan akan terus mengalami pertumbuhan. Apalagi, pemerintah saat ini fokus untuk mentrasformasi ekonomi menuju negara yang berbasis industri,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara di Jakarta, Senin (3/9).
Menurut Ngakan, pemerintah berkomitmen menciptakan iklim invetasi yang kondusif, seperti melalui pemberian insentif fiskal dan kemudahan perizinan usaha. “Seiring upaya tersebut, kami menjalankan kebijakan hilirisasi guna mendorong industri bisa menciptakan nilai tambah tinggi terhadap bahan baku dalam negeri sehingga dapat menghasilkan devisa dari ekspor,” tuturnya.
Ngakan menegaskan, di mata internasional, Indonesia dipandang sebagai salah satu negara industri terbesar di dunia. Hal ini berdasarkan laporan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) yang menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-9 dunia sebagai negara penghasil nilai tambah terbesar dari sektor industri.
Selain itu, apabila dilihat dari persentase kontribusi industri, Indonesia masuk dalam jajaran 4 besar dunia. Indonesia juga mengalami peningkatan pada Global Competitiveness Index, yang saat ini mengalami kenaikan di posisi ke-36 dari sebelumnya peringkat ke-41.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan menjadi kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan nilai mencapai 19,83 persen pada triwulan II tahun 2018. Sementara untuk pertumbuhan industri pengolahan nonmigas, berada di angka 4,41 persen, lebih tinggi dibandingkan capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar 3,93 persen.
Adapun sektor-sektor yang menjadi penopang pertumbuhan industri pengolahan nonmigas di kuartal dua tahun ini, antara lain adalah industri karet, barang dari karet dan plastik yang tumbuh sebesar 11,85 persen, kemudian diikuti industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki sebesar 11,38 persen.
Selanjutnya, pertumbuhan industri makanan dan minuman tembus 8,67 persen, serta industri tekstil dan pakaian jadi mencapai 6,39 persen. Kinerja dari sektor-sektor manufaktur tersebut mampu melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga sektor manufaktur sering disebut menjadi ujung tombak perekonomian Indonesia karena kontribusinya mencapai 18-20 persen.
Ngakan menjelaskan, sepanjang tahun 2017, industri manufaktur menjadi penyumbang 74,10 persen atau kontributor tertinggi dalam struktur ekspor Indonesia dengan nilai mencapai USD125,02 miliar. Dari hasil program hilirisasi, rasio ekspor pada periode 2015-2017, produk hilir mendominasi sebesar 78 persen, sisanya produk hulu.
Seiring pertumbuhan industri, sektor ini juga berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, terdapat 13,82 juta tenaga kerja di sektor industri, naik menjadi 17,5 juta tenaga kerja di tahun 2017.
Sektor industri pun memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan nilai investasi pada semester I tahun 2018. Jumlah penanaman modal dari kelompok manufaktur mencapai Rp 122 triliun melalui 10.049 proyek atau menyumbang 33,6 persen dari total nilai investasi sebesar Rp 361,6 triliun.
Sementara itu, pergerakan aktivitas industri manufaktur Indonesia semakin meroket. Hal ini dibuktikan dari data indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) Indonesia pada Agustus 2018 yang menyentuh angka 51,9, naik dibanding capaian bulan Juli sebesar 50,5.
PMI tersebut dirilis oleh Nikkei dan Markit setelah menyurvei sejumlah manajer pembelian di beberapa perusahaan pengolahan Indonesia. PMI di atas 50 menandakan manufaktur tengah ekspansif. Data tersebut menunjukkan bahwa kondisi operasional di seluruh sektor manufaktur Indonesia menguat pada kisaran gabungan terkuat sejak Juli 2014.
“Ini menjadi momentum yang baik, karena kita lihat bahwa industri manufaktur kita terus bergeliat,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Senin (3/9).
Data PMI Agustus tersebut memberi sinyal bahwa operasional manufaktur di Indonesia bergerak dalam fase lebih cepat dibanding kondisi bulan-bulan sebelumnya selama lebih dari dua tahun terakhir.
Penyebabnya, yakni adanya penguatan dari permintaan baru atau new orders dengan fase tercepat sejak Juli 2014. Oleh karena itu, pemerintah bertekad memacu sektor industri manufaktur agar terus meningkatkan produktivitas dan nilai tambah tinggi, terutama melalui penerapan revolusi industri 4.0.
Melalui peta jalan Making Indonesia 4.0 yang telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada April lalu, pemerintah dan stakeholders telah memiliki pemahaman yang sama dan arah yang jelas dalam memacu pertumbuhan dan daya saing industri nasional di kancah global. Aspirasi besar yang ditetapkan, yakni menjadikan Indonesia masuk pada jajaran 10 negara dengan perekonomian terkuat di dunia pada tahun 2030.
Oleh karena itu, pemerintah terus bertekad menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga memacu pertambahan penanaman modal di Indonesia, baik itu bentuk investasi baru maupun perluasan usaha atau ekspansi.
“Pemerintah saat ini telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk lebih mempermudah masuknya investasi baik dari dalam maupun luar negeri,” ungkap Airlangga.
Langkah strategis tersebut antara lain berupa optimalisasi pemanfaatan fasilitas fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan pembebasan bea masuk impor barang modal atau bahan baku. Bahkan, Kemenperin telah mengusulkan skema super deductible tax untuk industri yang melakukan kegiatan inovasi dan vokasi.
Kemudian, pemerintah memperbaiki tata cara perizinan baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun di daerah. “Saat ini, sudah disiapkan tata cara perizinan dengan menggunakan mekanisme Online Single Submission (OSS),” imbuhnya.
Selain itu, Kemenperin mendukung akselerasi peningkatan kompetensi sumber daya manusia industri melalui program pelatihan dan pendidikan vokasi.
Sementara itu, Ekonom IHS Markit, Aashna Dodhia menjelaskan, pertumbuhan yang cukup signifikan pada PMI Indonesia bulan Agustus 2018 adalah didorong oleh permintaan dalam negeri yang berada dalam laju paling tinggi sejak Juli 2014.
Jadi, mengindikasikan bahwa kesehatan sektor ini telah meningkat dalam kondisi yang paling baik dalam dua tahun terakhir. “Kondisi ini didorong permintaan yang terkuat sejak Juli 2014 dan terlihat juga peningkatan serapan tenaga kerja,” papar Aashna Dodhia.
Sumber: https://jpp.go.id
Editor: Eva Ulpiati