Kebijakan Menteri Pertanian yang termaktub dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) menimbulkan beragam pertanyaan dan kegamangan dikalangan pelaku usaha tanah air.
Anggota Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT) Syaiful Bahari menilai bahwa kebijakan ini justru menciptakan rantai prosedur yang panjang, sehingga memberatkan importir swasta untuk memenuhi kebutuhan bawang putih di pasar lokal.
“Alih-alih memberikan solusi terbaik bagi tata niaga komoditas bawang putih nasional, malah jadi ajang perebutan kuota impor dan memberi peluang terjadinya praktek suap menyuap antara pengusaha dan pejabat, “kata dia dalam seminar bertajuk Kisruh Tata Niaga Bawang Putih “Membongkar Praktek Kartel Dibalik Peraturan Menteri Pertanian (permentan) nomor 38/2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH)” Di Hotel Aila Cikini, Jakarta, Rabu (25/7).
Sebagaimana diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Kementan beralasan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas dalam pelayanan RIPH.
Bawang putih yang menjadi bagian dari produk hortikultura secara khusus diatur oleh Kementan dalam peraturan tersebut. Hal itu sebagaimana terdapat dalam pasal 32 hingga pasal 36 yang mengatur kewajiban pelaku usaha bawang putih dalam melakukan impor dari luar negeri.
Dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa pelaku usaha bawang putih yang melakukan impor diwajibkan untuk melakukan pengembangan penanaman bawang putih dalam negeri.
Menurut Kementan, ketentuan tersebut untuk mendorong produksi hortikultura dalam negeri sehingga harus diintegrasikan dengan pengembangan komoditas dalam negeri.
Selain itu, Kementan juga mempertimbangkan kebutuhan produk hortikultura nasional agar terjadi stabilitas pasokan dalam negeri dan tidak bergantung pada impor.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Perkumpulan Bawang Putih Nusantara (PPBN) A. Iwan Dwi Laksono menuturkan bahwa Secara filosofis, tujuan tersebut sudah sangat tepat dan mulia. Dengan adanya ketentuan itu, Kementan menginginkan agar komoditas hortikultura nasional, khususnya bawang putih, dapat swasembada dan tidak bergantung ada impor lagi.
“Hanya saja, terdapat beberapa hal penting yang perlu dicermati dalam peraturan tersebut. Pasalnya, terdapat beberapa ketentuan yang sangat merugikan pelaku usaha bawang putih dalam negeri.” Ungkapnya.
Iwan menjelaskan, ada ketimpangan perlakuan antara pelaku usaha dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan oleh Kementan dengan tidak mewajibkan BUMN untuk melakukan kewajiban penanaman dalam negeri sesuai dengan ketentuan yang diperuntukkan untuk pelaku usaha lainnya.
“Padahal, sebagaimana terdapat dalam pasal 18 terkait syarat administrasi pengajuan RIPH dan pasal 23 terkait tatacara penerbitan RIPH, kewajiban dari pelaku usaha dan BUMN adalah sama. Namun, ada perbedaan dalam kewajiban untuk melakukan pengembangan penamanam produk hortikultura,” jelasnya.
Iwan mengungkapkan, RIPH akan diterbitkan Kementan dua kali dalam satu tahun untuk satu pelaku usaha yang mengajukan permohonan sewaktu-waktu. Ia memandang, ketentuan itu tidak memerhatikan iklim tropis di Indonesia.
“Bawang putih tidak dapat ditanam dua kali dalam satu tahun di Indonesia. Sebab, Indonesia hanya memiliki dua musim, yakni musim hujan dan kemarau, tidak ada musim gugur,” terangnya.
Menurutnya, kewajiban melakukan penanaman 5 persen dari kuota komoditas hortikultura yang dimpor merupakan ketentuan yang salah arah. Pasalnya, petani dan pelaku usaha mempunyai peran masing-masing dalam siklus perdagangan bawang putih.
“Jika pelaku usaha diwajibkan untuk melakukan penanaman, maka sesungguhnya hal itu hanya akan merugikan petani itu sendiri,” tandas iwan.
Iwan juga mendorong kepada Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, untuk memberikan akses modal, lahan dan bibit kepada para petani agar dapat menggairahkan semangat petani dalam menanam produk hortikultura kembali.
“Selama ini, petani beranggapan bahwa antara modal yang dikeluarkan dengan hasil panen yang didapatkan tidak sesuai, alias merugi,” tukasnya.
Praktisi Hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Kemandirian Edward Antoni menilai, Permentan 38/2017 tidak sesuai dengan asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurutnya, praktik kartel sudah nampak jelas dalam dari ketentuan tersebut, khususnya pasal 32 tentang kewajiban pelaku usaha melakukan penanaman lima persen dari volume impor produk hortikultura.
“Tidak ada kategorisasi pelaku usaha mana yang harus melakukan,” tegasnya.
Edward memaparkan, terdapat banyak regulasi yang tidak sinkron dalam pelaksanaan peraturan tersebut. Bahkan, kedaulatan dan kemandirian yang dicita-citakan tidak sejalan dengan regulasi yang diterbitkan.
“regulasi sudah diterbitkan oleh Kementan, tapi SPI (Surat Persetujuan Impor) dari Kemendag (Kementerian Perdagangan) sampai berbulan-bulan tidak dikeluarkan, aturannya Kemendag wajib mengabulkan atau menolak dalam dua hari kerja,” pungkasnya.
Reporter: Eva Ulpiati