Konflik sosial seringkali mengusik kedamaian di berbagai negara di dunia. Meskipun hampir semua negara telah merdeka, persoalan perampasan tanah dan sumber daya alam, yang merupakan simbol dari kolonialisme dan kapitalisme, masih terjadi.
Situasi penanganan konflik sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perkembangan signifikan. Di antaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemajuan politik pemerintah mendorong proses-proses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik.
Sejak 2014, Pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen politik untuk melakukan land reform melalui program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 9 juta ha.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, berdasarkan data hingga September 2018, telah diberikan akses Perhutanan Sosial seluas 1,917 juta Ha untuk kurang lebih 458.889 KK dengan jumlah Surat Keputusan (SK) sebanyak 4.786 unit SK Ijin/Hak.
“Untuk Hutan Adat, hingga September 2018 telah ditetapkan seluas 25.110,34 Ha dengan jumlah 33 unit SK, dimana sebelum tahun 2015 belum pernah ada,” ucap Bambang di hadapan 800 peserta dari berbagai negara pada acara Global Land Forum (GLF) di Bandung, Jawa Barat, Senin (24/9).
Terkait program Reforma Agraria, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil menuturkan bahwa tahun ini telah diterbitkan 5,4 juta sertifikat dari target 7 juta, dan tahun 2019 ditargetkan 9 juta sertifikat untuk masyarakat.
“Pada 2025 diharapkan semua tanah di Indonesia sudah teregistrasi dan bersertifikat,” tegasnya.
Program TORA lebih diperuntukkan bagi desa-desa di dalam kawasan untuk kehidupan masyarakat ada disana. Sedangkan Perhutanan Sosial, kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan hak akses kelola.
Secara garis besar, tanah di Indonesia mempunyai dua yurisdiksi. Untuk kawasan hutan seluas 120 juta (70% dari luas Indonesia) ha berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan 30% di luar kawasan hutan di bawah kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan bahwa kedua program tersebut demi penyelesaian konflik agraria secara adil. Menurutnya, program reforma agraria bukan hanya memberikan hak atas lahan, tetapi juga memberi kemudahaan atas pasar dan keterampilan.
“Begitu juga dengan program perhutanan sosial, termasuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, di mana pemerintah menyediakan bantuan permodalan dan pendampingan,” tegasnya.
Diharapkan melalui spirit Bandung yang mewakili kebebasan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti yang digemakan Konferensi Asia Afrika 1955 melalui Deklarasi Bandung, GLF tahun ini dapat melahirkan agenda kerja dengan semangat yang sama untuk memastikan pengelolaan tanah berbasis masyaakat, sebagai jawaban mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, dan kelaparan yang tengah mengancam jutaan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Sumber: https://jpp.go.id
Editor: Eva Ulpiati