Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa dampak dari penguatan nilai tukar dollar AS kepada rupiah bukan pada utangnya tetapi pada Defisit Transaksi Berjalan atau Current Account Defisit.
“Apa yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap faktor eksternal. Indonesia bukan pada hutangnya, namun pada defisit transaksi berjalan,” kata Sri Mulyani dalam kegiatan World Economic Forum (WEF) untuk ASEAN di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9).
Sri Mulyani mengingatkan, undang-undang di Indonesia mengatur bahwa Defisit Transaksi Berjalan tidak boleh melewati angka 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB). “Angka tersebut masih dalam kendali,” tegasnya.
Menurutnya, ketika Amerika Serikat memiliki sentimen terhadap negara berkembang di belahan dunia lain, hal itu menciptakan dinamika. Melihat tantangan tersebut, Pemerintah menurunkan defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan diatasi dengan membatasi impor secara selektif untuk menjaga momentum.
Selain itu, Pemerintah juga tengah berupaya meredam gejolak dinamika ekonomi global dengan membuat kebijakan yang memperhatikan faktor psikologis atau sentimen pasar disertai dengan aktif mengomunikasikan kebijakan kepada para pemangku kepentingan.
Sementara itu, menurut analisis terbaru Nomura Holdings Inc, ada tujuh negara berkembang di dunia yang memiliki risiko besar dalam mengatasi krisis mata uang. Ketujuh negara itu adalah Pakistan, Turki, Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Mesir, dan Ukraina.
Dari tujuh negara itu, menurut analisis Nomur, Argentina dan Turki mengalami krisis mata uang. Sementara Argentina, Mesir, Sri Lanka dan Ukraina telah memutuskan untuk mengambil bantuan IMF sebagai cara untuk keluar dari krisis.
Analisis Nomura itu juga mengungkapkan adanya delapan negara dengan risiko krisis paling rendah, dimana Indonesia adalah salah satunya.
Kedelapan negara berkembang dengan risiko krisis terendah menurut Nomura adalah Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.
“Ini adalah sebuah hasil yang penting. Karena investor lebih fokus pada risiko. Penting untuk tidak menyamaratakan risiko krisis pada negara-negara berkembang,” tulis kesimpulan analisis Nomura tersebut.
Sumber: http://setkab.go.id
Editor: Eko “Gajah”