Pemerintah tengah berupaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional melalui dua cara, yaitu peningkatan nilai ekspor dan investasi di sektor produktif seperti industri manufaktur.
sesuai arahan Presiden Joko Widodo kepada para menteri di Kabinet Kerja, dukungan kebijakan dibutuhkan untuk mewujudkan hal tersebut. Selain itu, pihak terkait harus terus bersinergi untuk memacu ekspor Indonesia.
“Terkait ekspor, Indonesia masih mampu membawa produk-produk industrinya menembus pasar internasional, terutama menuju pasar-pasar yang belum pernah dijajaki sebelumnya atau pasar non-tradisional seperti Kawasan Afrika dan Amerika Latin,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, Ngakan Timur Antara, di Jakarta, Jumat (2/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan merupakan sektor andalan dalam menyumbang nilai ekspor Indonesia. Pada tahun 2017, nilai ekspor industri pengolahan sebesar USD125 miliar. Angka tersebut memberikan kontribusi tertinggi hingga 76 persen, dari total nilai ekspor Indonesia yang mencapai USD168,73 miliar.
Bahkan, dalam periode lima tahun (2012-2016), peran produk industri terus meningkat dalam komposisi ekspor Indonesia. Pada tahun 2012, ekspor produk industri sebesar USD118,1 miliar atau sekitar 62,2 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai USD 190,0 miliar. Sementara tahun 2016, porsi ekspor produk industri sebesar USD109,7 miliar atau mengalami peningkatan menjadi 75,6 persen terhadap total ekspor Indonesia yang mencapai USD145,2 miliar.
“Capaian tersebut mengindikasikan bahwa produk industri merupakan tulang punggung dan memiliki peranan sangat pentingdalam porsi ekspor Indonesia,” tegas Ngakan.
Artinya juga, semakin pemerintah menggenjot ekspor produk industri,dapat menopang kinerja perdagangan Indonesia. Untuk itu, Kemenperin selaku anggota Komite Penugasan Khusus Ekspor (PKE), terus berupaya menyiapkan fasilitas pembiayaan ekspor sebagai salah satu strategi mendorong peningkatan ekspor produk industri nasional.
“Salah satu tantangan yang dialami oleh industri dalam negeri untuk melakukan penetrasi ke pangsa pasar ekspor adalah daya saing produk, terutama dari sisi persaingan harga,” ungkap Ngakan.
Menurutnya, beberapa negara seperti China, telah memberikan dukungan pembiayaan kepadaindustrinya yang berorientasi ekspor, sehingga dapat meningkatkan daya saing dari sisi harga dinegara tujuan ekspor. Oleh karena itu, sejak tahun 2015, Pemerintah Indonesia meluncurkanprogram penugasan khusus ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“LPEI bertujuan untuk menyediakan dukungan pembiayaan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor. Adapun bentuk fasilitas pembiayaan ekspor tersebut meliputi pembiayaan, penjaminan, dan asuransi,” papar Ngakan.
Ngakan mencontohkan, hasil nyata dari pembiayaan tersebut terlihat dengan keberhasilan PT INKA yang kembali memenangkan proses tender internasional untuk pengadaan 200 unit kereta penumpang yang dilakukan oleh Bangladesh Railway pada tahun 2017.
“Pada proyek pengadaan kereta tersebut, PT INKA didukung oleh Eximbank sehingga mereka dapat menawarkan harga yang kompetitif,” jelasnya.
Di samping itu, adanya fasilitas pembiayaan ekspor ke Kawasan Afrika, menjadi peluang industri dalam negeri untuk dapat melakukan penetrasi ekspor ke kawasan tersebut.Sehingga akan menjadi salah satu alternatif strategi dalam upaya memenuhi target ekspor produk industri pada tahun 2018 yang diproyeksikan mencapai USD135 miliar atau meningkat 8 persen dari perolehan tahun 2017.
Ngakan menyampaikan, peluang ekspor tidak hanya terbatas pada industri besar, pelakuindustri kecil dan menengah (IKM) juga memiliki potensi ekspor yang perlu dioptimalkan. Terlebihlagi, beberapa produk IKM nasional telah unggul di pasar global seperti makanan dan kerajinan.
“Produk IKM kita sangat unik dan cukup kompetitif. Dengan jumlah unit usaha yang banyak, peranIKM juga harus dapat dimaksimalkan, Produk IKM kita sangat unik dan cukup kompetitif.Dengan jumlah unit usaha yang banyak, peran IKM juga harus dapat dimaksimalkan,” tuturnya.
Namun demikian, terdapat beberapa tantanganyang harus diselesaikan, antara lain pelaku IKM perlu memahami prosedur dan mekanisme yangharus dilalui supaya produknya bisa diekspor ke luar negeri.
Selanjutnya, sebaran IKM yang berlokasi di beberapa wilayah membutuhkan peran dan fasilitasi dari aparatur pemerintah daerah untuk mendorong kegiatan ekspor.
“Untuk solusinya, Kemenperin telah melakukan beberapa langkah strategis termasuk optimalisasi pemanfaatan fasilitas nonfiskal yang salah satunya berupa pelatihan guna peningkatan pengetahuan dan kapasitas pelaku IKM,” jelas Ngakan.
Kebijakan fasilitas nonfiskal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri. Dalam hal ini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Iklim Usaha Industri (Puslitbang KIUI) di bawah BPPI Kemenperin bekerja sama dengan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia Kementerian Perdagangan.
Kegiatan kerja sama yang dilakukan, antara lain pelaksanaan program pelatihan untuk pelaku IKM. Pada tahun 2017, program tersebut diberikan kepada 30 pelaku IKM di Yogyakarta.
“Kami berharap, dengan adanya program ini, pengetahuan pelaku IKM mengenai mekanisme ekspor, dokumen-dokumen ekspor yang dibutuhkan, standar produk di negara tujuan dan peluang pasar baru ekspor dapat ikut mendorong peningkatan ekspor produk industri dalam negeri,” kata Ngakan.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pihaknya juga mendorong pelaku IKM agar bisa menangkap peluang pasar di era ekonomi digital dan Industry 4.0 dengan memanfaatkan perkembangan teknologi manufaktur terkini.
“Kami telah meluncurkan program e-Smart IKM, pada awal tahun 2017. Salah satu tujuannya adalah meningkatkan akses pasar melalui internet marketing,” tutur Airlangga.
Kemenperin telah melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama dengan beberapa marketplace dalam negeri, di antaranya Tokopedia, Blibli, Shopee, Bukalapak dan Blanja.
Sepanjang tahun 2017, tercatat lebih dari 1730 pelaku usaha yang telah gabung dalam program e-Smart IKM dari 23 provinsi. Pada 2019, ditargetkan akan mencapai 10 ribu pelaku IKM seluruh Indonesia.
“Dalam program ini juga mendorong para pelaku IKM agar melakukan terobosan inovasi, dengan memperbaiki produk, pengembangan desain, serta mengikuti pendidikan dan pelatihan,” imbuhnya.
Sumber: http://kemenperin.go.id/
Editor: Hendri Kurniawan